Ingin Cerita Saja

Gaes,
Sudah saatnya kembali ke peradaban blog.

Well, jika ditanya apa yang membuatku hilang kabar selama beberapa bulan terakhir sebenarnya sederhana.. terlalu banyak hal yang sedang diredam untuk diceritakan. Sangat banyak.
Jujur, akupun kangen untuk bercerita disini, terlepas dari siapa yang akan membaca dan bagaimana pendapat mereka. Aku hanya ingin membuang limbah pikiran, menyalurkannya ke dalam bentuk cerita.

Jadi gini, ada satu hal yang sempat kusyukuri benar karena telah terlewati.
Permulaan September lalu, aku baru saja menjalani operasi reseksi dan rekonstruksi mandibula. Itu operasi pemotongan tulang rahang yang dijangkiti tumor sejak setahun yang lalu. Panjang jika diceritakan bagaimana mulanya tumor itu bisa berada di sana, yang jelas, sudah dua kali operasi minor, beberapa kali pengobatan alternatif dan ntah berapa kali minuman herbal dicoba, hingga diputuskan untuk operasi itu. Pengambilan keputusan itu terhitung berat, karena operasi baru bisa dijadwalkan pada minggu pertama awal kuliah setelah liburan semester genap. Aku sama sekali tidak ingin membolos. Sementara aku tidak mungkin menunggu lebih lama lagi, sudah cukup satu tahun membiarkan si jaringan tumor ini nongkrong disana dan aku tidak mau menunggu libur semester genap tahun depan untuk menjadwalkan operasi.

Alasan lainnya adalah karena aku demikian takut kehilangan rahangku, meskipun dijanjikan akan dicangkokkan dari tulang rusuk. Dan ya, setelah diberitahu hasil tulang rusuk tidak akan sama dengan bentuk aslinya. Sempat nangis karena takut setelah operasi itu, aku akan menjadi cacat. Aku lupa, bahwa tidak ada manusia yang lahir tanpa cela, tanpa cacat :)))

Intinya, operasi itu tetap dilangsungkan pada Senin, 7 September 2015 dari jam 8 pagi hingga 6 sore. Aku tidak ingat apapun ketika bangun, yang aku tau cuma gerah dan haus. Sayangnya aku baru tau, sejak hari itu hingga satu minggu mendatang, aku tidak boleh minum apapun. Aku hanya bisa 'minum' susu tinggi kalori lewat sonde (selang yang dimasukkan dari hidung langsung menuju lambung). Gigiku diikat dengan kawat untuk menjaga agar aku tidak banyak mengerakkan mulutku.

Seminggu opname membuatku memikirkan kembali cita-citaku dulu. Tentang keinginan tulus masuk ruang operasi atau menghabiskan sebagian besar waktu di rumah sakit, menginap, merasakan atmosfer rumah sakit. Semuanya lengkap tercapai, kecuali selera humor semesta yang membalikkan peran yang kupilih dulu yaitu sebagai dokter, sementara yang terjadi saat itu akulah pasiennya.

Ya, gaes.. Kalian punya alasan kuat mengapa berdoa itu harus spesifik.
Ntahlah jika bukan karena Tuhan yang maha baik, aku tidak mungkin bisa menjalani satu minggu yang membuatku hampir trauma dengan kamar rawat inap. Hampir setiap malam aku nangis karna merasakan nyeri luar biasa di area persambungan tulang rahangku. Sementara di setiap nyeri yang kukeluhkan ada penderitaan yang akan jauh lebih menyakitkan dari obat pereda nyeri yang disuntikkan pada selang infus. Ntahlah, obat pereda nyeri yang nyatanya jauh lebih nyeri ketika diinjeksi ke dalam tubuh itu.. ah mimpi buruk!

Lalu pada hari kepulanganku dari rumah sakit, aku memaksa untuk segera kembali ke Malang keesokan harinya karena banyak hal harus dibereskan segera. Bukan main, sesampainya di Malang, siap tidak siap, aku harus menghadapi praktikum paling berat sepanjang sejarah perikanan. Dengan catatan tidak bisa mencerna apapun kecuali susu dan jus, hari berat yang mengguncang mental di mulai. Diselamatkan satu minggu bebas praktikum karena adanya undangan menyelesaikan tahap final perlombaan karya tulis ilmiah di Kendari.

Semua hal di Kendari menyenangkan kecuali kenyataan bahwa setiap nasi kotak yang kuterima tidak akan tersentuh olehku. Bersabar tidak semudah itu, tapi yaa tidak ada hal yang bisa disesali. Life must go on. Setidaknya aku berhasil unlock life achievement, yaitu mengunjungi pulau Sulawesi (meskipun belum sampai Wakatobi), dan naik pesawat. bonusnya: gratis. Satu lagi, pencapaian di luar ekspektasi mengalungi medali perunggu PIMNAS. Tuhan maha baik, kan?

Baiklah, mari kembali pada sebenar-benarnya kenyataan hidup..
Sekembalinya ke fakultas beban hidup telah beranak pinak, tugas menggunung, laporan praktikum 4 materi harus diselesaikan dalam satu minggu.

Belum rampung praktikum luar biasa yang membuatku hampir lupa rasanya berbahagia, disusul lagi praktikum lainnya yang siap menjamin aku akan semakin lama tidak pulang ke rumah. Praktis check up dan angkat kawat gigi molor 3 minggu dari yang di jadwalkan, jadi semakin lama aku harus betahan untuk menghadapi beratnya hari hanya dengan asupan nutrisi susu. Kesehatanku aman, aku hanya mengkhawatirkan mentalku yang kian terguncang. Dalam kondisi berhari-hari hanya tidur 2 jam perhari, dan tubuh yang lemas karena persoalan lapar yang tak pernah rampung dengan bergelas-gelas susu. Aku jadi mudah bersedih untuk hal hal sepele. Aku menginginkan makan nasi dan tidur lebih dari Raja Ampat sebagai alternatif liburan. Tapi, syukur alhamdulillah semua terlewati dengan baik.

DAN AKHIRNYA AKHIR OKTOBER AKU BISA PULANG, yang artinya kawat gigiku dilepas dan aku bisa kembali makan makanan yang manusiawi hehe.. Aku bahagia tanpa bisa bersorak, karna setelah pembalasan dendam selama tiga hari makan seenaknya di rumah, aku kembali ke Malang. Kemudian lantas berpikir bahwa dari hal yang kusebut penderitaan kemarin, Tuhan menyelipkan kemudahan hidup bahwa aku tidak perlu susah payah berpikir "Ingin makan apa sekarang?" ya memang tidak ada yang perlu dipikirkan, yang bisa kumakan toh cuma susu dan jus. Karenanya pun aku lebih mudah menghemat pengeluaran.

Yah, manusia toh akan terus mengeluh.. karna cuma itu yang bisa menjadi pelampiasan mereka atas tidak mampunya diri dalam menjadi sempurna, dalam segala hal. Karena manusiawi, kita berusaha yang terbaik, kita lelah dan kita butuh lega. Jalan menuju lega itu bisa dengan menggerutu, mengumpat atau menangis.

Rasanya, aku sendiri tidak percaya aku mampu menjalani dua bulan dengan tetap waras.

Ahya, tahun ini aku melewati September yang jauuh lebih berat dan menyakitkan nalar tapi aku berhasil melewatinya tanpa mengeluhkan "Wake Me Up When September End 3"
Yaaa, sebenarnya ga ada hidup yang terlalu berat untuk dijalani. Toh Tuhan memberikan cobaan pada batasan yang mampu kita atasi. Cuma ya gitu, kalau ga ngeluh dulu emang ga seru. Asal jangan kebablasan aja ngeluhnya, risih malah akan terdengar seperti berdrama.

Gaes, Oktober ataupun November masih akan sama beratnya walaupun rasanya tidak segila September. Jadi, aku akan kembali ke sini untuk membuang limbah pikiran jika sewaktu-waktu aku butuh lega.

See yaa :)

Melukis Luka


Aku cuma tau caranya mempercepat langkah dari berjalan hingga berlari. Dari pandangan lurus hingga mendongak ke atas. Lalu kesandung dan jatuh. Begitulah caraku berhenti. Dari semesta kepada bocah congkak yang merasa dirinya mampu melakukan segala hal dengan tangannya sendiri. Aku diajarkan untuk tulus membantu. Tapi tidak diberitahu bagaimana caranya bijaksana.

Satu kali aku pernah mencoba membantu seseorang, yang ternyata jauh lebih dari mampu daripada aku, untuk menyelesaikan satu tugas. Lalu aku mencoba sekerasnya, sampai menelantarkan kebutuhan diriku sendiri. Lalu pulang dengan lelah yang sangat hingga menangis. Membuat khawatir orangtua yang sedang mendengarku diseberang telepon. Aku gagal karena mencoba menyelesaikan satu masalah dan disaat yang bersamaan pula aku membuat satu masalah baru.

Atau pada kesempatan lain ketika seseorang memintaku untuk membantu, tapi hanya terselesaikan setengahnya karna aku sedang tidak baik. Aku tau dia berada di keadaan yang rumt. Posisi yang sama yang pernah membuatku nangis frustasi karena sudah berhari-hari kurang tidur dan dicekik deadline. Aku tidak mau hal hal seperti itu terulang kepada orang lain. Sialnya, keadaan memburuk dan aku makin merutuk diriku sendiri yang tidak bisa diandalkan. Aku nggak tau lagi. Padahal harusnya aku bisa menenangkan diriku karna si empunya tugas lebih dewasa dari aku, dan seorang laki-laki.. Seharusnya aku tidak perlu terlalu khawatir dia akan sefrustasi aku menghadapi himpitan, yang sebenarnya harus kutolong adalah diriku sendiri.

Aku membuat luka sendiri. Melukisnya diatas tubuh.
Tolonglah, semesta... Buat aku belajar bijaksana. Biarkan aku tetap membantu pada batas mampuku. Jangan bolehkan daguku meninggi, membantu orang lain seolah aku paling bisa melakukan segala hal hingga lupa diri.

Kita dewasa dengan tanggung jawab. Menjawab tanggungan masing-masing. Ketika merasa selesai dengan tanggung jawab sendiri, kita diperbolehkan membantu orang lain, tanpa mengambil alih tanggung jawabnya :)

Pengakuan.

D : Loh nduk, ngapain kamu disini?
A : Saya diminta mas *sebut nama* untuk kesini pak..
D : Yowis sini masuk dulu.. Jadi, gimana kabarmu?
A : Sudah jauh lebih baik dari minggu lalu
D : Kamu istirahat yang banyak ya, jangan terlalu lelah dan ambil banyak bagian disini. Ambil semua waktu yang kamu butuh untuk recovery, tidak usah dipikirkan, semua sudah di handle teman-temanmu. Saya bangga sekali karna kamu punya tekat kuat dan semangat yang kuat untuk lomba ini.


Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya mendengar pengakuan bahwa seseorang telah bangga terhadap saya. Dan untuk pertama kalinya pula, saya merasa dihargai dengan setinggi tingginya apresiasi. Hanya dengan sedikit kalimat pernyataan bangga dari seorang dosen pembimbing, saya tersanjung, Yea, I'm that shallow :'))))

Jadi apa saya benar-benar tidak pernah melakukan sesuatu yang berarti? 
Apa dari seumur hidup saya tidak pernah ada yang memuji?
Apa saya tidak pernah dihargai untuk setiap pekerjaan saya?
Tidak. Tidak. Tidak.

Saya adalah selemah-lemahnya mahluk jika mengenai eksistensi.
Hal itu baru saja saya sadari ketika seorang teman dekat dengan ringannya mengomentari keluh saya.
Dia satu-satunya orang yang bisa melihat saya layaknya badut.
Yang pengap dan hampir nangis di dalam kostum dan riasan wajah bahagia.
Dia tau, saya adalah orang paling lemah karena selalu memaksa agar terlihat hebat.
Saya suka sekali berlari. Kadang terlalu bersemangat hingga kepalang jauh sampai lupa harus pulang. Sesekali jatuh, babras, tapi tetap berlari.
Saya melupakan kenyataan bahwa saya bisa saja mati tanpa pernah menikmati hasil, jika saya terus menerus bertindak keras kepala.
Lucunya, saya ndak takut kalau hasil itu tidak sampai sempat saya rayakan
Saya memang sekeras itu untuk berprinsip bahwa setidaknya saya berusaha dan kalaupun mati, saya tidak mati dalam kesia-siaan.

Jika dikembalikan lagi pada tujuan awal untuk membuat orang tua saya tersenyum lega karena bangga. Saya akan gagal total dalam usaha, jika saya jatuh sakit karena ulah ngeyel saya sendiri.

Pernah, satu malam ketika saya masih rawat inap di rumah sakit, saya nangis semalaman karena sakit kepala ditambah resah memikirkan keinginan untuk segera kembali kuliah. Beberapa lama, sampai akhirnya saya sadar, saya sudah membuat satu kesalahan fatal. Saya membuat sedih ibu saya yang sudah beberapa hari kurang tidur karena menjaga saya. Saya sudah membuatnya khawatir dan menambah beban pikirannya. 

Sepulangnya dari rumah sakitpun, saya masih tetap saja ngeyel untuk kembali kuliah segera. Walaupun berat hati, saya tau, orang tua saya tidak akan pernah sekeras saya untuk memberikan ijin.
Saat itu juga saya sadar, saya adalah anak yang egois. Saya suka memaksakan keinginan saya dan melupakan perasaan orang tua yang selalu mengkhawatirkan saya. Tapi saya cuma bisa nangis. Saya benci memerangi diri saya sendiri. 

Saya bilang kepada mereka, "saya ngeyel demi bikin papa sama mama bangga"



Padahal yang sebenar-benarnya terjadi..

Saya pergi, karena saya butuh pengakuan. saya suka pergi jauh mengejar yang saya yakini mampu membuat saya punya eksistensi. Hanya karena saya bosan tidak dihargai. Saya bosan jadi anak yang bukan apa-apa. Jadi anak biasa saja yang hidup dibalik bayang-bayang kakak laki-laki yang kelewat dianggap cemerlang.
Saya tau, saya egois.


Well pah, mah..
Saya tau, postingan ini tidak akan sampai terbaca oleh papa dan mama. Tapi seandainya suatu hari saya memberikan link yang merujuk pada halaman ini. Saya ingin papa dan mama tau, saya sayang papa dan mama. Maaf saya selalu egois. Maaf jika saya tidak pernah merasa puas dan selalu berharap sesekali mama dan papa mau memuji pekerjaan saya. 



Sampai dengan detik ini, pengakuan bukan lagi kebutuhan saya.
Sudah cukup berlari.
Saya cuma butuh mama dan papa, saya kangen.

Satu Pagi di Bulan Juli.

Semesta membungkuskanku sebuah alur cerita singkat, pagi itu.
Seperti sebuah rencana dengan ending yang tak terduga.

Hebatnya, malam ini aku baru menyadari satu hal.
Bungkusan itu tidak datang tanpa alasan.
Isinya racikan resahku sedari malam hingga lelap dalam mimpi.
Hasil pikirku yang muter karena khawatir berlebihan.
Minta kopi, aku mau mabuk.
Aku mau jadi bukan diriku saat menceritakan ini.

Close your eyes
You must to tell him that there is no reason to stay with.. -anonymous

Aku pernah sekilas membaca, tentang nasihat seseorang agar tidak menoleh ke belakang.
Lalu, karenanya, aku belajar untuk tidak membiarkan diriku mendengar seruanmu yang memanggil namaku.
Tapi, aku cukup dewasa untuk tidak menyimpan dendam.
Bahwa, what has done ya done..
Semuanya sudah berubah, kamu bukanlah orang yang semestinya kubenci karena lukaku di masa lalu.
Tidak perlu lagi.
Bodohnya, berbekal percaya diri atas keseimbangan hati, aku membuka teras untukmu duduk ngobrol.
Dan kamu terlalu keras kepala untuk menurut tanpa menuntut lebih dari sekedar ngobrol saja.
Kalau kamu sungguh-sungguh mau tau, kala itu aku bertekad mengantarmu sampai pada upacaramu saja. Lalu perlahan aku akan pergi tanpa meninggalkan jejak.
Sialnya, aku salah cara.
Kamu ajak aku masuk ke dalam duniamu, memperkenalkan aku pada isinya.
Sekarang, aku yang masuk terlalu dalam dan tidak tau jalan keluarnya.
Aku terperangkap pada labirin yang awalnya kudesain sendiri.
Aku jatuh pada caramu mencintaiku.
Sialan!

Kau tau, aku resah setengah mati.
Nggak tau kenapa, hanya saja sering kali aku meyakini, ini bukan jalan cerita dalam rangkaian skenarioku.
Harusnya bukan seperti ini..

Lalu seperti apa?
Apalagi yang kucari?
Belum pernah ada lelaki yang mbrebes mili setelah berseteru hebat denganku.
Belum pernah ada lelaki yang menatap mataku sungguh-sungguh saat aku menceritakan beberapa hal yang random.
Belum pernah ada lelaki yang panik mendengar keluhku lapar tengah malam dan nekat ingin mendatangi kotaku hanya untuk membawakan makan.
Belum pernah ada lelaki yang hampir setiap waktu mengaku kangen padaku.
Belum pernah ada lelaki yang dengan sabar menungguku selesai ngomel lalu mengirimkan emotikon peluk, sambil bilang aku sayang kamu.
Belum pernah ada lelaki seperti itu, sebelum kamu.

Semesta benar-benar maha bercanda.
Sempat ragu karena diliputi trauma yang membanting hati sampai kecewa.
Tapi perubahan sikapmu jelas, aku tidak bisa lagi menghakimi masa lalumu.
But, well..
Ga ada yang bisa jamin, selera humor semesta bakal awet sampai akhir permainan ini.
Coba saja kita buktikan!

Kita punya satu kesempatan untuk mengikuti jalan ceritanya.
Cuma satu kesempatan terakhirmu, ini bisa lebih mudah, toh kita sudah pernah melewatkan kesempatan kedua.

Dari Seorang Kakak Kepada Adiknya

Dik,
Buku bergambar itu milik kakak, untuk dibaca siapapun yang ingin. Isinya lengkap dengan pengetahuan sepele yang bisa membuat kepalamu lebih 'berisi'
Buku itu bisa kamu pinjam, kelak jika kamu sudah lancar mengeja.
Kakak tau kamu menyukainya, beberapa kali ketika kebetulan kamu sedang ingat, kamu akan mencari buku itu dan merengek untuk dibacakan isinya.
Kakak senang karena kamu tertarik.
Walaupun, kakak tidak bisa selalu membacakannya untukmu.

Dik,
Maaf kalau kakak seringkali enggan membacakan beberapa halaman yang kamu minta, hanya karena kakak yakin kamu tidak akan mengerti.
Kakak tidak membacakan tentang fotosintesis, cara kerja diafragma kamera, ataupun metabolisme ikan.
Kakak tidak menjelaskan bagaimana alat pendeteksi kebohongan bisa mendeteksi kebohongan, maupun mekanisme pergantian musim.
Kakak selalu berpikir, tidak ada gunanya menjelaskan itu semua kepada bocah lima tahun. Kamu pun tidak akan mengerti.

Dik,
Sekali lagi kakak minta maaf atas pemikiran kakak yang dengan congkaknya meremehkan pemahamanmu.
Kamu menyadarkan kakak bahwa tidak seharusnya kakak belagak sok pintar.
Kakak belajar bahwa pintar itu berarti mampu memahami dan menjelaskan kembali ilmu yang kakak serap dengan bahasa yang lebih universal. Lebih manusiawi.
Kamu memang terlalu sederhana untuk menerima kerumitan penjelasan kakak.
Marahlah dik, tegurlah kakak..
Jika kamu tidak mampu memahami apa yang kakak katakan.
Kamu berhak untuk tau yang ingin kamu ketahui.
Biar jadi tugasku sebagai kakakmu untuk menyederhanakan ilmu pengetahuan itu agar lebih mudah kamu terima..

Lekaslah tumbuh besar, dik..
Jadilah perempuan yang pintar dan rendah hati.
Gemarlah membaca, dan ajarkanlah pengetahuanmu kepada adik-adikmu dengan cara yang baik.
Pinjam bahasa mereka untuk bisa menyampaikan ilmu.

Peluk cium,

Mbak Ayu.

Rumah Sempurna.

Hampir seminggu menjalani bulan puasa di tanah rantau sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan. Bukan perkara yang berat dijalani, tapi tidak terhitung enteng pula. Intinya santai saja.

Home is where the heart is.

Satu hari kala menjalankan ibadah sholat tarawih aku merenungkan tentang esensi ramadhan yang kali ini tidak sama dengan tahun sebelumnya. Lapar dan dahaga bukan jadi soal, berbukapun bukan kemewahan. Ah, bukan karena nasi, abon dan telor asin saja.. bukan karena semua kesederhanaan ini. Lebih dari itu semua, aku juga kehilangan cita rasa tarawih itu sendiri, beserta perasaan tanpa definisi yang selalu kurasakan tiap pulang tarawih. Ntahlah yang jelas, ini berbeda.

Seorang teman menyinggung soal rumah, katanya aku merindukan ramadhan di rumahku. Apalah bedanya. Kos ini pun bermakna rumah pula buatku. Kos ini sudah kupaksakan untuk selalu jadi tempatku pulang, tidak selalu harus Surabaya. Karena ketika himpitan tugas menyerang, aku tidak mau merutuk benci karena iri pada mereka yang bisa selalu pulang ke rumahnya. Aku sudah pulang ke rumahku. Rumah yang lebih sederhana.

Jadi, apa sebenarnya definisi rumah ?

"Rumah itu himpunan dari semua rasa aman dan nyaman yang dirangkum dalam sebuah bangunan dengan luasan tertentu"

"Home is the place you rest in peace." #SalahNanya #EdisiMasihDuniaLain

"Rumah itu bangunan, tempatmu memulai cerita dan menyimpan kenangan di dalamnya."

"Rumah itu bapak, ibu, adek, sama abangku."

"Rumah itu tempat lu balik dari semuanya, dari semua rasa capek lu dan ngedapetin bahagia sesederhana tidur ditempat yang lu anggap ‘rumah’"

"Rumah itu kamu" *edisi gombal* #eaaaa #SayangnyaRumahSengketa

"Rumah itu tempat kita bisa tampil jelek dan bodo amat."              

Masih banyak lagi definisi berbeda dari perspektif yang lain.

Sebagian kecil, ada yang juga menganggap rumah sebagai neraka. Bagi mereka rumah bukan lagi jadi tujuan pulang. Di tempat lain, rumah bisa jadi impian sebuah keluarga di pinggiran jalan ibu kota. Sesederhana bangunan kotak yang disusun dari kardus bekas. Rumah juga  ada yang hanya sekedar mimpi indah bocah kecil yang tertidur di dalam gerobak atau entah dimana. Intinya, rumahmu bergantung pada makna yang kamu sematkan diantaranya.

Gimana kalau rumah sempurna? Pasti bakal lebih banyak definisi lagi.
At least, buatku rumah sempurna itu tempat yang paling dirasa tepat untuk melepas beban di pundak, melepas penat, melepas khawatir, melepas rasa takut, melepas dan redam benci, melepas penyangga dagu yang membuatnya selalu meninggi, melepas heels, melepas baju, menghapus riasan.

Rumah adalah tempat kita melepas dan meletakkan semua ditempatnya.

Karena rumah adalah tempat yang paling tepat untuk menjadi bukan siapa-siapa tapi tetap berbahagia.



Ohya, jadi kita bahas ramadhan atau bahas rumah nih? :)

Ngobrolin Wedang.

Ngomongin wedang.
Ngobrolin segelas cinta yang diracik tetua jaman naliko semono.

Sebutlah ini romantisme leluhur pada anak turunnya.
Sebuah simbol kasih sayang dan cinta orang tua yang diejahwantahkan melalui racikan dedaunan dan seruas jahe.
Ketika raga tak dapat bersentuhan, dan mata tak lagi mengawasi, tapi cinta itu tetap bisa menjaga hati tetap hangat.

Ngobrolin cinta.
Ngomongin ketulusan yang disesap bersama tiap teguknya si wedang.

Sesederhana minuman yang mengalir di gelas-gelas anak moyangnya.
Wujud romantisme itu akan selalu menghangatkan, selagi kau angkat gelasmu dan seduh racikannya.
Nikmatilah cinta yang tak putus, dari moyang yang tak pernah kamu temui, dalam mimpi sekalipun.

Wedang uwuh.
Substansial cinta yang tak habis.
Yang dipersiapkan oleh tangan para ancient untuk dirasakan hingga generasi terakhirnya di bumi.

Aku Sayang..

Adek kangen papa.

Papa pasti menganggap ini sedikit berlebihan. Apalagi caraku menyebut 'adek' untuk kata ganti aku. Aku bisa diledek papa habis-habisan karena belagak sok imut. Ah, enggak deh, papa nggak akan meledekku, papa bahkan jarang bercanda denganku.
Papaku emang ga romantis.
Tapi emang bener kok, aku bukan anak terakhir, aku punya dua adik lagi.
Sebenernya, itu nunjukin betapa aku cuma pengen selalu jadi anak perempuan tujuh tahun yang suka bergelendot sembunyi di balik kaki papa. Karna, kayaknya waktu itu rasanya nyaman banget. Kayaknya waktu itu, papa cuma milikku aja. Bukan papanya mas, Iyan atau Krisna. 

Papa pasti kaget, waktu aku bilang kangen ke papa lewat sms. Aku juga kaget sih, kenapa tiba-tiba aku inget papa dan langsung kangen banget sampai nangis.
Lucunya, waktu itu aku yakin aja, gengsi papa setinggi itu untuk mau menunjukkan papa juga menyayangiku.
Sadar atau tidak, peduli atau tidak, aku suka waktu dulu, tiap aku menunggu papa pulang kerja, papa menjemputku les terlalu larut malam, dan aku hampir pasti tertidur sembari memeluk papa sepanjang perjalanan pulang.
Papa inget ga ?
Kayaknya waktu itu, bukan sesuatu yang spesial. Sederhana sekali.

Adek sayang papa.

Maaf ya pa, berkali-kali ngecewain papa.
Maaf karena aku bukan anak superior yang bisa menuhin harapan papa.
Maaf karena beberapa hari yang lalu, (mungkin) aku bikin papa menghela nafas pasrah karena aku merayu untuk tidak lagi memperjuangkan fakultas kedokteran.
Bocah kecilnya papa udah gede, udah bisa mikir dewasa. Udah tau, rasanya jatuh lalu berjuang dengan serpihan serpihan yang ada.
Tuhan maha baik kan, pa? Aku nggak mau, aku ataupun papa kecewa lagi kalau toh ternyata Tuhan tidak menuliskan takdirku sebagai dokter.
Aku cuma mau, papa doain aku, apapun yang kujalani sekarang, akan berakhir baik. Aku janji untuk berusaha sebaik-baiknya.
Tolong, jangan kecewa lagi.
Aku sedih kalau papa kecewa.

Ohya, pa.
Papa adalah lelaki terhebat di hidupku.
Papa sepintar insinyur, papa bisa menambal atap rumah yang bocor, papa bisa merangkai instalasi listrik, papa membetulkan alat elektronik yang rusak, papa bisa menciptakan beberapa alat-alat baru dengan tangan papa sendiri.
Papa juga segagah traveler andal, waktu kecil, papa sering pergi ke Jogja sendirian, papa pernah mendaki gunung kawi, papa pernah bertahan hidup di rimba dengan bekal seadanya.
Papaku suka membaca dan pandai menulis puisi.
Papa mungkin bisa melakukan semua hal dengan baik, kecuali satu.
Jangan tersinggung ya, pa..
Papa bukan ahlinya mengucapkan sayang kepada anak-anak papa.

Tapi aku tau kok, dan aku yakin banget papa sayang aku.
Banyak hal yang nggak luput dari perhatian papa waktu aku mengemasi barangku untuk dipindahkan ke kamar kosku.
Aku tau, papa yang meminta mama membawakan senter. Aku tau, papa yang marah kalau jajanan kesukaanku dihabiskan adik-adik sebelum aku sempat pulang dan menyicipinya. Aku tau, papa yang selalu memaksa mama untuk datang mengunjungiku dan mengantarkan obatku yang tidak terbeli di hari sebelumnya. Aku tau, papa yang memaksa mama untuk menelponku dan bertanya kabarku.
Aku tau papa tidak cuek.
Karena jika cuek, papa tidak mungkin senekat itu untuk hampir saja memesan tiket kereta untuk papa sendiri mengantarkan buku tabunganku yang tidak sengaja tertinggal.
Jangan lupa, aku juga tau pa..
Aku tau, papa bertanya kepada mama 4 kali sepanjang hari untuk memastikan mama sudah memberi ucapan selamat ulang tahun padaku. Papa tidak memberiku ucapan langsung. Papa meminta mama menuliskan doa yang papa panjatkan berikut dengan wejangan-wejangan papa.

Aku tau, papa sayang aku.
Aku juga sayang papa.
Kenapa sih kita harus saling gengsi untuk mengakui?

Akan Berapa Lama, Lagi?

Kali kedua, pertemuan kita.

Kita, dua orang yang berjarak.
Dibebaskan status, diikat perasaan.
Tidak bisa dibilang Long Distance Relationship, karena jika dipaksa bicara, kita memang tidak punya status relationship itu.
Kita hanya sekedar ngobrol untuk sama-sama menyapu sepi. Sembari sesekali rindu.
Kita tidak mengutuk jarak.
Karena dia ada, sebelum kita.

Ini kali kedua, pertemuan kita.

Pertemuan yang jauh sekali kamu rencanakan semenjak kembalimu dari kotaku. Satu bulan yang lalu.
Kamu, adalah manusia yang paling tidak sabaran menantikan hari ini.
Kamu juga manusia yang paling keras kepala untuk ambil keputusan datang ke kotaku, hanya untuk membujuk aku yang sedang marah.
Sebelum hari ini, aku tidak pernah terbayang seperti apa rasanya menoleh ke belakang.

Ini pertemuan kita, yang kedua kalinya.

Saat tanpa ragu kamu mengabulkan keinginanku mengunjungi tempat yang selalu gagal kudatangi selama hampir dua semester ini.
Kamu tau, bahagia itu sederhana sekali.
Bisa sekedar duduk di bangku belakang motormu yang sedang melaju kencang melintasi jalanan gunung.
Bisa juga hanya duduk bersebelahan menatap kelip lampu perkotaan dari atas bukit, pegunungan.
Bisa lebih sederhana lagi, ketika kamu tiba-tiba mengecup puncak kepalaku di akhir perjumpaan.

Aku bisa saja marah karena kamu lancang, tapi tulus dari dalam diriku, aku menyukai sikapmu yang semanis ini.

Ini yang kedua kan?
Kedua kalinya kamu buktikan bahwa jarak bukan berarti apa apa.
Lucunya, kali ini, aku seperti tidak mau membiarkanmu pergi lagi.
Aku mau selalu melihatmu sedekat ini, merasa dicintai senyata ini, dan berseteru juga memaafkan semudah ini.

Aku mau.
Tapi aku tidak bisa memintanya.
Kita tetaplah kita.
Tetap kamu saja, dan aku saja.
Dua orang yang dibebaskan status, lalu terikat perasaan.

Kamu harus tau!
Setiap kali mata kita bertemu, ada pertanyaan yang berdengung riuh memenuhi kepalaku.
Disisipkannya pula harap lucu, yang dielakkan nalar. Tapi hati punya perannya, kan?

Jadi, akan berapa lama lagi kita bisa terus seperti ini ?

Dengan jarak yang kita sama-sama tau, dan paksaku untuk membebaskan diri dari nametag status ? Uh.

Sudah Telpon Orangtua, Hari Ini?

" Jadi, siapa diantara kalian yang setiap hari, ah paling tidak dalam tiga hari terakhir ini sudah menelpon orang tua di rumah ? Untuk bertanya kabar atau sekedar say 'hai'.. Ada ? "

Seketika kelas hening. Tak ada yang mengangkat tangan, apalagi angkat bicara.

" Nggak ada? Ah, atau kalian cuma telpon orang tua cuma untuk nanyain kiriman? Kalian ini pelit. Pelit sekali! Orang tua kalian ngasih kalian kiriman perbulan itu tidak cukup kah untuk membeli pulsa telpon? Padahal, orang tua kalian itu akan senang sekali ketika menerima telpon dari kalian"

Telpon lah orang tuamu terlebih dahulu. Mereka tentu ingin sekali mendengar suara anaknya, tapi kadang mereka terpaksa menekan keinginan mereka karena takut akan mengganggu kesibukanmu.
Sempatkanlah..

Kali ini semuanya bisu.
Dosen ini telah menohok hati kami dengan sebenar-benarnya kenyataan yang kami lupakan.

Begitupun dengan saya.
Bahkan pernah, semester lalu, orang tua saya memprotes bahwa saya pelit. Saya tidak pernah menelpon orang tua saya karena alasan kesibukan. Seolah-olah tak pernah merindukan mereka. Hanya sesekali mengirim sms agar ditelpon, ketika ada sesuatu yang ingin saya bicarakan.

Dominan mama saya yang menelpon untuk bertanya kabar saya. Sampai suatu hari, ketika saya sedang sibuk wari wiri menuntaskan tugas akhir laporan praktikum saya. Di pinggir jalan saat tangan saya menenteng kantong plastik berisi banyak sekali kertas dan punggung saya mulai lelah dibebani komputer jinjing dalam tas. Ponsel saya berdering, saya pastikan itu telepon dari mama.

Meleset, karena suara dibalik telepon genggam saya itu bukan milik mama. Tapi papa, dan sebutlah ini keajaiban dunia karena untuk pertama kalinya papa menelpon setelah 4bulan saya dilepasnya di tanah rantau.

" Sabtu besok bisa pulang, yu ?"
" Ndak bisa pah, ada praktikum di Probolinggo. Kayaknya aku baru bisa pulang awal bulan depan pa.. Memangnya kenapa?"
" Nggak apa-apa, cuma mau ngajakin liburan aja kalau bisa pulang.."
" Ah iya, aku ada praktikum pa.."
" Sekarang lagi dimana? Di kampus ta?"
" Lagi di tempat fotokopian, jilid laporan, abis gini mau ngerjain laporan, malemnya ada acc "
" Oh, gimana perkembangan penyakitmu? Ada perubahan ?"
" Masih sama sih pa.. Ga nambah gede tapi ya ga makin kecil"
" Jangan lupa beli makan, jangan makan mi terus"
" Nggih pa.."
" Yaudah, segitu aja.. Ini mamamu pengen ngomong.."

...

Saya terlalu sibuk dengan diri saya sendiri. Kadang merasa bersalah karena saya lupa menanyakan kabar mereka. Sementara orang tua saya tidak pernah lupa untuk mengupayakan kebahagiaan saya. Sejauh apapun saya.

Jika boleh membela diri, saya tidak bermaksud pelit. Hanya saja, banyak hal yang semestinya saya simpan sendiri, agar orang tua saya tidak merasa khawatir. Saya hanya ingin menunjukkan saya baik-baik saja dan hanya akan ada telpon dari saya, jika itu memuat kabar baik.

Jadi gimana ?
Apa saya juga menelpon atau sms orang tua hanya ketika butuh kiriman ?
Jawabannya, iya.
Saya hampir menelpon mama saat tiba-tiba mama terlebih dahulu menelpin saya untuk mengabarkan dirinya berniat mengunjungi saya lusa..

" Mah, aku masih diminta ikutan SBMPTN ta?"
" Menurut mama gausa"
" Kalau papa?"
" Papa malah nanya ke kamu, apa kamu suka jurusanmu yang sekarang ini? Mama sih percaya kamu udah nyaman banget"
" Mah, minta doanya aku besok mau ujian asisten, bilang papa juga ya maa hehe"

...

Lagi-lagi saya hanya menanyakan kiriman.. Doa.
Tepat ketika saya sedang akan berjuang membuat mereka bangga.

Dan saya akan terus memintanya :)

Untuk Dipikirkan Kembali

Kepada, aku setelah aku..

Salam dariku, separuh dirimu yang setengah mati mangkel karena tubuh dikuasai malas.
Aku nggak ngerti lagi gimana kamu bisa demikian berantakan. Padahal kamu nggak sesibuk semester lalu.
Okelah, kuanggap semester lalu adalah babak terberat dalam hidupmu.
Kamu berubah jadi alien-ambisius yang keras kepala.
Hidupmu montang manting mengorbankan waktumu untuk sekedar duduk bernapas, tenagamu yang super ngoyo mengejar deadline laporan dan pelbagai macam tugas kepanitiaan, pikiranmu untuk mengingat sudah saatnya pulang, juga air matamu sore-sore ketika pulang dari praktikum hari itu ntah kenapa pikiranmu kosong, kamu nglamun lama sekali lalu nangis, sadar bahwa kamu kelelahan.
Tapi sekali lagi, semuanya beres.

Aku sadar beberapa hari ketika itu seperti berlarian jarak pendek. 
Sampai akhirnya terselesaikan satu semester dengan indeks prestasi yang bisa dibilang lumayan.
Walaupun rasanya masih belum puas, setidaknya nalarku menyadari, kemarin aku membagi banyak sekali waktuku untuk hal diluar akademik. Aku berorganisasi, aku panitia event nasional dan aku pasien sebuah rumah sakit spesialis.
Eh, itu kamu, aku sebelum aku.

Tapi coba bandingkan dengan aku setelah aku.
Aku nggak ngerti sama diriku sendiri.
Aku cuma merasa kecewa, karena harusnya aku bisa lebih baik dari ini karena berkurangnya kesibukan panitia. Tapi aku malah ngerasa kayak ada yang salah sama diriku. Mbuh semangatku yang nguap entah kemana.. Atau pada dasarnya, aku jadi se-hectic itu karena adanya tekanan dalam diriku untuk menuntaskan tanggung jawab.

Ayolaaah..
Aku nggak pengen ngobrol panjang lebar.
Aku cuma kehabisan cara menyadarkan sebagian diriku yang mbuh-kenapa-punya-aturannya-sendiri-dan-sialnya-mendominasi ini untuk lebih giat lagi. 
Demi kerang ajaib, kadung terbiasa hidup dalam himpitan deadline, aku jadi merasa nggak produktif tiap kali aku punya waktu luang. Aku merasa kayak ada yang salah sama hidupku.
Kayak ada yang lewat untuk kuupayakan sebaik-baiknya.
Aku nyerah, aku rela sakit kepala atau ngos-ngosan tiap hari karena sibuk.
Seenggaknya aku nggak merasa ada jeda panjang yang nggak tau mau dipake buat apa.

Eh, bro..
Yo, kamuuu, aku setelah aku..
Tolong perbaiki, tolong sibuklah yang bermanfaat.
Mbuh gimana caranya, aku gamau tau!
Males males tak keplak loh ya!

Salam manis,
Dari separuh diriku yang setengah mati mangkel pada si bagian diriku yang mbuh-kenapa-punya-aturannya-sendiri-dan-sialnya-mendominasi.

Setidaknya Laki-Laki Telah Mencoba..

“ Aku ada kripik singkong favoritmu nih, kamu mau ga ?”
“ Mauuu, tapi anterin ke kosan ya ?” canda saya kepadanya.
“ Oke, tunggu ya. aku berangkat sekarang”

Begitulah kurang lebih chat saya dengannya, kamis malam saat jam dinding kurang lebih menunjuk angka delapan. Kami sedang membicarakan sesuatu yang tak jelas ke mana arahnya, lalu tiba-tiba dia menawarkan keripik singkong, yang dia tau, saya bisa lupa diri jika dekat makanan itu. Dengan maksud bergurau, saya mengiyakan penawarannya dengan syarat dia mau mengantarnya ke tempat saya.

Pikir saya, jarak tetaplah jarak. Dia tidak akan datang di hadapan saya sekarang hanya untuk mengantar keripik singkong. Sayangnya, meleset dari perkiraan saya, dia bersedia. Giliran saya yang panik. Saya berpikir keras saat itu, antara ingin menolaknya untuk datang ke kota saya karena takut ada perasaan canggung karena pernah merasa dikecewakan. Tapi sederhananya, jika saya sudah tidak punya perasaan apapun, sekadar reuni harusnya bukan perkara. Lalu, dengan sedikit ragu namun tetap santai, saya ijinkan dia datang, besoknya.

Menjelang sore, hari jumat. Dia mengirim pesan BBM kepada saya, bahwa dirinya sedang terjebak hujan dan harus menghentikan perjalanan sekitar setengah jam hingga hujannya reda. Lalu beberapa menit kemudian dia menanyakan alamat saya. Saya memberitahunya untuk berhenti di depan universitas islam di daerah kos saja, karena alamat saya begitu rumitnya untuk ditemukan, lalu saya akan memberi instruksi arah jalannya. Tapi dia memaksa bertanya alamat kos saya, seolah-olah dia sudah sampai di depan gang. Saya memberitahunya, dan dia tidak berhasil menemukannya. Yaa, setidaknya dia sudah mencoba..

Kemudian sampai lah ia di depan kos saya lalu saya persilahkan duduk dan saya minta membantu saya mengetik laporan. Kami bercanda seadanya, saya tagih pula keripik yang ia janjikan. Dan yang dia bawakan adalah keripik singkong manis, padahal keripik singkong favorit saya adalah yang rasa bawang. Yaa, setidaknya dia telah mencoba..

Lebih pasrah ketika dia mengajak saya menghabiskan waktu untuk berkeliling kota saya, sementara saya tidak mengenal jalanan di kota ini dan dia pun hanya pendatang. Dia berjanji untuk mengantar saya ke tempat yang indah. Lalu dia coba menawarkan BNS sebagai destinasi kami walaupun akhirnya saya tolak. Terlalu jauh, dan ini sudah malam, saya harus kembali ke kos sebelum pukul sepuluh. Dia menawarkan saya untuk makan nasi padang karena dia tau saya kangen sekali makan rendang, dan sekali lagi saya tolak dengan menyatakan saya hanya ingin ngeteh. Nyerah ketika itu, akhirnya saya pilih alun-alun batu sebagai tujuan. Dia berkali-kali memaksa saya makan sesuatu yang berat, tapi saya hanya menggeleng. Walaupun tetap pada akhirnya saya memesan mi ayam yang lama sekali saya habiskan karena memang tidak sedang berselera makan. Lalu dia mengajak saya masuk alun-alun sembari membuat gurauan untuk mencairkan suasana, yang kemudian malah berakhir dengan hujan jotosan dari saya. Tapi dia tetap tidak berhenti membuat saya tertawa. Mulai dari hanya bercerita hal-hal yang sederhana hingga konsultasi mengenai ikan yang pernah dipelihara. Dia hanya ingin membuang waktu sebelum akhirnya mengembalikan saya pulang. Begitu seterusnya, dan pukul sembilan lebih limabelas menit saya sampai di kos kembali. Dia mengembalikan saya satu jam sebelum batas yang saya berikan. Ya, setidaknya dia telah mencoba..

Setidaknya lelaki itu telah mencoba.

Pernah juga satu siang, saat kami ngobrol di gazebo kos, teman sekamar saya baru saja kembali dari satu tempat dengan membawa setangkai mawar di tangannya. Lalu iseng saya bertanya sekaligus menyatakan iri karena saya tidak pernah sekalipun menerima bunga yang semacam itu, dengan tujuan bergurau saya hanya ingin memberi kode kepada laki-laki di samping saya. Namun dia tidak juga merasa, saya lantas tertawa dan memprotesnya langsung bahwa saya sedang menyindirnya. Dia hanya mengerutkan dahi lalu memetik bunga yang dia temukan di sekitarnya untuk diberikan kepada saya. Saya tidak sungguh sungguh menginginkan bunga itu, karena jika saya mau, saya bisa menemukan bunga itu setiap hari di halaman kos. Tapi, setidaknya dia telah mencoba..

Atau pernah satu malam dia mengabarkan pada saya, bulan sedang cantik-cantiknya, dan keluh saya sulit melihat bulan karena terhalang bangunan kosan. Sembari sedikit memberikan contoh bahwa seorang teman pernah mengirimkan foto langit, walaupun hanya berupa gambar hitam dengan satu titik warna putih, saya tetap menyukai fotonya. Dia tetap tidak mengerti maksud saya, sampai harus pula saya jelaskan secara eksplisit bahwa saya mengharapkan dia memfoto langitnya. Apapun hasilnya, saya hanya ingin melihat langit yang dia lihat. Mungkin sedikit menyinggungnya, tapi dia tetap mengirimkan foto langit yang saya minta. Ya, dia sama sekali tidak peka, tapi setidaknya laki-laki itu telah mencoba..

Walaupun sederhana yang dilakukannya, walaupun seringkali salah dan membuat saya kesal. Setidaknya dia telah mencoba melakukan sesuatu yang diluar keharusannya. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya ketika ia masih bertahan dengan ego yang membanggakan sifat cuek miliknya.

Setelah keadaan banyak berubah. Setelah saya menyerah untuk mengharapkan kepekaannya, dia malah baru saja belajar untuk memperlakukan saya dengan baik. Dia berusaha sebisanya menjadikan saya tuan puterinya. Dia mengalah untuk saya, dia panik ketika saya marah dan dia memperhatikan sekecil aktivitas saya. Keadaan seolah benar-benar berbalik, karena dia yang kini adalah saya yang dulu. Saya yang pernah selalu mengalah karena tidak ingin kehilangannya. Dan saya yang kini adalah dia yang dulu. Dia yang dengan cueknya atau entah putus urat peka, saya benar-benar sudah habis peduli. Yaa walaupun terlambat karena sempat melewatkan saya, setidaknya dia sudah mencoba..

Dan rasanya kurang bijak jika saya membenci sifatnya yang dulu, sementara saya kini memperlakukan dia sama dengan yang dia lakukan kepada saya dulu. Meski berat untuk kembali percaya setelah kecewa. Saya tetap saja bukan yang paling benar untuk merasa pantas membalas dendam. Ah, saya lupa, saya tidak pernah mendendam.


Lagipula, paling tidak lelaki itu sudah mencoba :) 

How it was ?

I just thought that I'm okay.
Lemme tell you, that I don't really care about what were you joking about.
That was a joke.
About your girlfriend, ryt?
Lucky me, I'm not ur girlfriend.

Srsly, everything would be okay.
I am okay
I am okay
I am okay
I am okay
I'm okay
I'm okay
I'm okay
Im okay
Im okay
Im ok
.
.
Ok, for god sake, Im not okay.
That was hurt me so much.

Few minutes, please..
.
.
.
.
.
Nggh.
I just wanna screaming like ... 'bocah sempruuuul makanye lu jangan kebawa perasaaaan !!!!'

Im ok
Not crying, then
I just need to be an old me, the same person before we just met.

Keep the balance.
Keep the balance.
Keep that balance.
Nggh.

Cerita Tentang Teh Hangat dan Susu Jahe

Segelas teh hangat dan susu jahe.
Anggap saja dua jenis minuman itu adalah kita, yang terhidang di meja semesta malam itu.
Sedari dingin mencekat sendi ditiup angin lamat-lamat lalu runtuh juga dinding es di seberangmu.
Cair membanjir, hingga tumpah semua yang pernah mengkristal.

Segelas teh hangat dan susu jahe.
Ada gula mengendap di dasar, tapi nggak ada sendok.
Kemudian kau tunjukkan padaku cara melarutkannya dengan tawa kita berdua.
Dan aku kalah menyadari bukan hanya gulanya, tapi perasaan di dasar hatiku pun turut melebur.
Aku kalah dalam usahaku mempertahankan si batu es.

Andai malam itu tak ada perjumpaan.
Mungkin kita bukanlah kita yang sekarang.
Tak ada uap-uap teh hangat dan susu jahe.
Tak ada kepulan rindu karena ia masih membatu, diikatnya oleh dingin khawatir dan trauma hari kemarin.
Tak ada takutku, yang sekarang.

Harusnya sudah tidak ada lagi yang kutakutkan sejak habis kuikhlaskan kamu.

mbuh.

bersulang, semesta ?
ayolah, tenang saja, kita takkan mabuk dengan bergelas-gelas teh manis.
aku masih ingin merasakan sadar saat semuanya terasa serba tak tepat.
aku ingin merasakan super kamehameha dalam diriku menghadapi ini semua.
ah, jika benar kamehameha itu demikian super..

ya, atau kita bisa coba sesuatu yang lebih memabukkan
segelas kecil cinta?  
yang mendidihkan adrenalin, seakan ingin melepas jantung dari tempatnya menggantung.
bahagia itu bisa saja membuatku lupa bernapas.
atau dari hangat yang kau seduh dengan buru-buru mengejar yang berlalu.
ah, bisa mati aku teracuni pahit.

ah, sungguh aku tak sedang ingin mabuk.
jangan sekarang.

serius, aku ingin bicara.
semesta, mengertikah seperti apa rasanya?
ketika ada yang memberatkan nalarku, aku cuma diam.
ada jeda panjang sekali pada setiap pikirku.

aku cuma jatuh menekuk lutut.
menangis bersimpuh memohon agar Tuhan berbagi sedikit keajaiban.
untuk jawaban, atas ketidaktahuanku. ketakutanku.
aku nggak nyerah.
ntah dari mana kekuatan tak nampak super kamehame itu datang.
yang jelas dia ada, membantuku berpikir jernih.
atau sekedar mengalah untuk melepaskan semua berjalan seadanya. sejadinya.

ah, semesta..
ini segelas terakhir.
ayo bersulang, untuk kita.
untuk masalahku sendiri, dan untuk partisipasimu dalam penciptaannya.

Titip boleh, bli ?

Mau dengar cerita, bli ?
.
.
Alkisah sebelum bertemu kamu, saya sempat menyukai seorang lelaki yang mirip denganmu. Dia baik sekali, pembawaannya tenang, dan tutur katanya lembut nan santun. Saya sangat mengaguminya. Hanya saja, saya dan dia memanggil nama Tuhan dengan sebutan yang berbeda.

Hopeless, saya ketika itu.
Tanpa maksud apa-apa, saya iseng nyeletuk "Tuhan, boleh ndak, kalau saya minta satuuu aja yang mirip ini. Yang sama baiknya, sama sopannya dan sama tenangnya tapi tolong yang seiman dengan saya.. "

Ajaibnya, tak kurang dari dua hari, saya bertemu kamu. Terlibat kesibukan selama seharian penuh bersama. Kemudian saya mengenali sosok lelaki itu pada dirimu. Kalian mirip sekali. Benar-benar mirip (attitude ya, bukan physic). Sampai akhirnya saya tau, lelaki itu adalah karibmu, dan kalian berasal dari pulau yang sama.

Saya jatuh, mudah sekali..
Hanya karena selera humor semesta dan Tuhan yang maha mengabulkan doa.

Bli,
Saya belum benar-benar siap jatuh lagi semenjak hati saya pulih dari patah kemarin.
Kamu pun jauh dari ekspektasi saya,
Tentang lelaki yang rentang usianya paling tidak harus 3-5tahun diatas saya.
Tapi kembali lagi, ini baru gelitik lucu dalam hati, kan ?
Belum terlalu jauh, saya masih sekedar menyukaimu.
Ya, kamu adalah doa yang terlalu lekas terkabul.

Taukah kamu ?
Sebenarnya saya tidak pernah menyesali apapun. Apapun.
Tapi andai saja bisa meralat ucapan, saya ingin ketika itu lebih hati-hati saat berujar.
Saya ingin, jika saja bisa menambahkan kalimat semoga..
"Semoga kamu, mencintai saya dengan tulus" dan "Tidak harus sekarang, bisa saja nanti saat saya sudah siap"

Saya tau, bli..
Kamu mungkin saja tidak sama sekali terpikir tentang saya. Saya juga jarang mikirin kamu.
Banyak orang yang lalu lalang di dekat saya, akhirnya membuat saya menyadari bahwa kamu sedikit berbeda.
Perasaan saya, saya tidak pernah berdebar saat bertemu kamu, tidak juga resah merindukan kamu. Tapi saya tau, kamu tersimpan di dalam rongga hati saya. Demikian tenangnya, ada perasaan teduh ketika kamu dekat. Seperti sedang berada di rumah.

Bli, titip rumah saya, boleh ?
Nanti kalau saatnya tiba, saya pulang ya ?
Tolong jangan dulu dibuka pintunya, takut ada kucing masuk.
Hehe..

Pertemuan.

Pernah nggak, merasa lucu dengan sesuatu ?

Tentang seseorang yang kamu sebut sebagai teman.
Lalu dia membawamu masuk ke dalam dunianya. Dia mengajakmu bertemu dengan teman-temannya. Sekarang temannya, adalah temanmu juga.

Pernah, kah ? Saya sedang.

Ntah bagaimana seharusnya saya bersikap.. Saya hanya diam dan mereka yang berusaha membuat saya nyaman berada diantara mereka. Saya senang ketika keberadaan saya diterima baik, bahkan ketika saya bukan bagian dari mereka.

"Oh, jadi ini yaaa yang fotonya dipasang jadi DP bbm kemarin ?" sindir salah seorang teman, kepadanya.
"Lah, fotonya berempat kok mas.. " saya menyela.
"Berdua, dek.. " si teman ngeyel
"Berempat mas, saya tau kok.. Fotonya kan dari hape saya.." saya lebih ngeyel.
"Aku yang tau di bbm, udah di crop itu fotonya.."

Dia ada disitu tapi hanya diam tersipu, tak ada klarifikasi atau pembelaan.  Benar-benar tanpa perlawanan..

Mungkin lucu jika kami adalah dua orang yang saling mengagumi diam-diam. Sama naifnya untuk mengakui perasaan.
Mungkin juga saya yang besar kepala menganggap setiap sikapnya itu berbeda.
Dia memang menyebalkan.
Seringkali dia tidak memperhatikan saya bicara. Sehingga pada kesempatan yang berbeda, saya harus mengulang penjelasan saya.
Dia pernah meledek saya, tapi dia memperlakukan saya dengan baik.
Dia tau saya bisa melakukan semua hal tanpa mengeluhkan peran saya sebagai perempuan, dia tau saya perempuan yang kuat, dia juga menilai saya tomboy, tapi dia menjaga saya seperti halnya tuan puteri.
Dia menggandeng tangan saya ketika saya ragu-ragu. Dia mengantar saya pulang untuk memastikan saya aman meskipun saya sudah biasa berjalan sendiri menuju rumah kos. Dia pernah mengkhawatirkan saya saat sedang sakit. Dia pernah rela duduk terjaga untuk memastikan saya tidur dalam keadaan baik-baik saja. Dia pernah menyelimuti kaki saya yang dingin dengan jaket yang sedang ia kenakan. Dia melibatkan saya dalam lingkar pertemanannya.

Hei, tapi dia leo !
Leo bisa saja dekat dengan banyak orang tanpa tambahan rasa.
Mungkin lebih baik saya menjaga hati saya agar tidak terjatuh pada lelaki ini.

" Pulang sendiri, dek ?" tanya seorang teman saat saya pamit.
" Iya dong, biasanya juga gitu.. Kan deket banget"
....

" Ayok pulang sama aku.. " he said
" Ciyee... " saya meledek
" Hati-hati dek kalau pulang sama dia " jerit temannya yang tadi.
.
.
.
Di depan kos.

" Sudah sampai "
" Hehe makasi ya mas.."
" Aman sampai tujuan, kan ?" tanya lelaki itu sebelum beranjak, aku hanya tersenyum.
" Iya, aman, terima kasih sudah memastikan saya akan baik-baik saja. " kata saya, dalam hati.

Jatuh cinta tidak mungkin sesederhana itu.
Tapi jika Tuhan mendengar namanya dalam doa saya.. Saya harus mengelak seperti apa ?

Tenanglah-tenang..

Perempuan duduk melipat lututnya, bersandar pada kaki ranjang sembari menarik napasnya berat.
Matanya lelah setelah mengadapi huru-hara hidup seharian.
Matanya sayu sendu, matanya memerah, matanya membendung lelah.

Ada yang tidak dimengertinya tentang perubahan.
Beberapa hal yang diirasa sepele, tapi melemahkannya pelan-pelan,
Dia santai, dia terlalu santai, dia teramat sangat santai.
Hingga tidak menyadari apa yang sedang dihadapinya.

Perempuan itu lagi-lagi terkapar diranjangnya.
Matanya hampir memejam. napasnya sarat akan beban.
Sekali lagi merasa kalah, harus mengalah.
Hingga akhirnya mampu mengikhlaskan, ia tertidur pulas.

Malaikat kesal, ini baru pukul sembilan.
Setan bersulang, perempuan itu belum sholat isya.

Perkara Lama

Kau tau, bro..
Aku bisa mudah sekali memaafkan masa lalu.
Aku tidak mudah melupakan, tapi untuk memilih yang harus terus kuingat, itu perkara gampang.

Kita memang sudah berubah, sejak lama.
Jangan berlagak seperti satu-satunya orang yang paling sial.
Kau ingat siapa aku, dulu ?
Cuma bocah lugu yang enteng sekali menerimamu lagi, lagi, dan lagi meski tau kamu tidak pernah sungguh-sungguh menjagaku.
Hei, kamu tidak bisa terus berharap ada perempuan yang sebodoh itu menerimamu lagi setelah dilewatkan berkali-kali, kan ?
Keberuntungan tidak datang ratusan ribu kali, bro..

Oke, aku terdengar menyedihkan sekali.
Pernah dilewatkan.. Sekarang apa ?

Bro, harusnya aku menjelaskan dengan tegas tentang perubahan itu.
Aku benar-benar sudah selesai denganmu, bukan karena siapa.
Ini karena aku berpikir, aku bisa saja dijaga dan dipertahankan oleh seseorang, dan kenyataannya orang itu bukan kamu.
Jadi, aku putuskan untuk menarik diri.
Tapi kau memaksa aku untuk menjelaskan.
Aku cuma punya dua pilihan, tegas dan terlihat kejam, atau baik tapi seolah mengulur harapan.
Demi kerang ajaib, ini sulit.
Aku geminian, aku sulit untuk bersikap tegas, tapi aku habis-habisan dianggap flirting cuma karena aku ramah pada semua orang.

Lekas jatuh cinta lagi, pada perempuanmu nanti..
Dan aku ingin mengingatkanmu bahwa membuat perempuan gondok lalu tertawa kembali, itu sama sekali tidak tepat. Jangan bangga jika bisa membuatnya tertawa setelah kaubuat dia cemberut kesal.
Dia ada bukan untuk dipermainkan moodnya..

Bro, aku bukan orang yang selama ini kamu cari-cari. Karena aku tidak sesabar itu, dan malah pergi..
Aku sudah selesai dengan dramaturgi ini.
Sekarang kau merdeka, carilah perempuanmu..

Menakar Sukses.

Sore yang berkebetulan saat aku sedang bosan dan merasa sepi, lalu masuk notifikasi BBM dari seorang kawan lama yang tiba-tiba menyapa. Format kuno percakapan dua anak manusia yang lama tak bertemu, pertanyaan tentang kabar yang hampir pasti dijawab dengan 'alhamdulillah baik' apapun keadaannya. Lalu dilanjutnya dengan bertukar cerita yang sama-sama kami lewatkan sejak 4 tahun tanpa temu.

Aku menyeruput air mineral dari botol merah jambu favoritku sambil mengetik beberapa hal yang dirasa layak diceritakan. Lalu balik bertanya perkembangan kisah cintanya. Sejauh yang kutau, temanku bukan orang yang mudah berpindah hati bahkan pernah kulihat ia masih sangat akrab dengan mantan kekasihnya yang dulu teman sekelas kami juga. Dan benar saja, hatinya masih tertinggal di masa lalu.

" Jadi, ada yang selain X ? "
" Ada sih, deket doang, dia yg suka. Aku sih udah nutup hati soal begituan. Aku mah masih males mikir ke situ. Pengen fokus kerja biar sukses dulu lah.. "
" Bagus tuh prinsipmu.. Tapi fokus ya fokuus.. Kalau mau sekedar berteman ya gapapa lah.. Koleksi temen, mana tau ada yg nyantol di hati hehe.. Lagian kamu kan udah kerja, sukses yang gimana toh yg pengen kamu capai ? "
" Hehe, tarolah porsi sederhananya yaa kerja mapan, duit banyak, sejahtera. Atau yang rada muluk dikit yaa, kerja enak, punya kesempatan kuliah, lulus kuliah, jabatan naik.. "
" Widiih.. Aku mah bantuin doa aja ya.. Semoga lekas tercapai suksesmu. "

Pergeseran topik. Ternyata orang punya perspektif beda-beda soal sukses.

Ambil contoh saja, aku menanyai beberapa orang tentang tolok ukur sukses bagi mereka. Dan berikut jawaban yg kudapat.. (nama disamarkan demi kenyamanan bersama)

Yo, 14 th, salah pilih masuk SMK.
" Sukses, itu kalau udah kerja dengan gaji tinggi,   trus bisa bayarin mama naik haji. Yo ma ? "

Ri, 18th, maba yang tidak terpengaruh demam pengen pulang.
" Sukses itu kalau aku sudah bisa beli kebutuhanku sendiri dan bisa bahagiain orang tua "

Bk, 18th, jomblo duatahun.
" Sukses itu kalau kita bisa dapetin yang bisa bikin kta bahagia. Misalnya yaa jika sudah menemukan orang yang tepat buat pendamping hidup kali hehehe "

Sr, 37th, ibu idealis realistis yang mudah dilema.
" Sukses ? Hmm yaa kalau berhasil mendidik anak-anakku jadi orang yang sukses dunia akhirat. Itu baru ukuran sukses. "

Sb, 23th, mahasiswa religius kalem bin selow.
" Kalau dalam hidupnya bahagia dan tentram jiwanya. "

Dm, 21th, pejuang skripsi yang sedang mengalami defisiensi motivasi.
" Sukses itu kalau sudah menghamili istri. wakak :D becanda deh, yaa sukses itu kalau bisa beli rumah setanah-tanahnya. "

Aku kembali menyeruput minumku, kali ini sampai habis. Menghela napas ringan, lalu kembali mengetik postingan ini. Menyadari bahwa aku sendiri menganggap sukses itu berarti mendengar dan melihat orang tuaku bercerita bangga tentang diriku kepada teman-temannya. Muluk. Tapi sebenarnya, bangga saja cukup, tak perlu diutarakan, jangan diceritakan. Biar aku tidak cepat puas saat memperjuangkan sesuatu.

Hidup memang seselow itu.
Tidak ada yang bilang sukses adalah ketika kita sudah menjadi 'wah' dan diakui sukses oleh banyak orang.
Kenyataannya sukses itu tentang kepuasan ego kita, bukan sukses yang dihadiahi apresiasi orang lain.
Ada kalanya kita akan merasa cukup sukses, meskipun banyak orang tidak beranggapan demikian.

Betapa tidak bahagianya kita, jika takaran sukses adalah pengakuan orang lain.
Karena seumur hidup kita akan berlari dan jatuh mengejar 'sukses' hanya untuk diakui orang lain.
Malu, kalau sampai menangis bersimpuh dihadapan Tuhan hanya untuk meminta agar orang lain mengakui kesuksesan kita.
Menangislah bersujud dihadapan Tuhan untuk memohon agar kita diberi ketangguhan berjuang dan rasa syukur karena kebahagiaan sederhana yang dihasilkan dari himpunan-himpunan sukses kecil.

Sekadar Cerita.

Aku pengen kuliah luar kota biar mama kangen aku, biar mama inget doain aku juga, bukan cuma mas, ena, iyan aja..

Hehehe..
Aku inget waktu bilang gitu, mama ngomel tapi ekspresi datar.

Kamu itu nggak ngerti apa-apa, belum tau rasanya jadi orang tua. Semua anak itu ga ada yang luput dari doa orang tuanya.

Aku tau, aku salah bicara.
Kalimat itu melukainya.
Karena aku selalu merasa dinomer-empatkan, aku jadi egois gitu.

Aku melupakan kenyataan bahwa tidak ada ibu yang bisa rela begitu saja melepaskan anaknya pergi jauh dari pengawasannya.
Aku cuma berpikir, hadirku tak berarti banyak, aku akan mudah direlakan.
Lagipula, aku anak konservatif yang penurut. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan dariku.
Tapi, menjaga anak perempuan itu bukan perkara gampang, kata mama.
Selurus apapun aku, mama tetep perlu usaha ekstra untuk menjagaku, mengetahui lingkar pertemananku, bahkan juga isi hati dan isi tempurung kepalaku.

Aku pasti anak yang kurang ajar karena memperberat tugas mama dalam menjagaku dengan memperjauh jarak kita.

Aku sudah sering sekali memikirkan ini.

Cobalah sedikit rileks, ma..
Ada saatnya mama harus memberiku kepercayaan untuk bertanggung jawab atas diriku sendiri.
Karena usiaku pasti akan terus bertambah, aku tidak bisa selamanya diperlakukan seperti bocah yang tidak bisa apa-apa.
Wajar jika aku ngeyel minta diijinkan pergi dari rumah.
Ada banyak hal yang dirasa perlu untuk kupelajari diluar sana.

Dan, kenyataannya orang tua tetap akan mengalah dan mengabulkan ambisi anaknya. Sekeras apapun orang tuaku.

Hei, ini aku si anak egois itu !
Maksa kuliah luarkota cuma karena merasa diabaikan, sebutlah saja minggat intelektual.
Aku bukan contoh yang baik untuk diteladani adikku.
Tapi cobalah ambil hikmahnya, anak egois ini belajar hidup tanpa bergantung pada siapapun, dia juga belajar mengatasi masalah dengan tenang dan tanpa merengek.
She was growing up, ryt ?

Dia juga ga akan pulang jika tanpa adanya kabar baik untuk diceritakan.
Maaf aku bandel, bikin mama selalu ngalah.
Tapi, aku bocahmu, maa.. Hehe

Berteman Hujan.

Hei teman lama !
Masih mengingatku ?
Kita pernah bersauh dalam sendu semusim, seperti takkan pernah saling melepas.
Sayangnya, kamu malah pergi di permulaan Januari itu.
Kemudian kamu hadir kembali, ketika semua terasa serba tidak tepat waktu.
Sungguh, bukan tidak mau menyambutmu dengan selaksa rindu, tapi aku sedang payah-payahnya saat itu.

Aku jatuh, membisik pelan ntah  kepada siapa.. hujan jangan marah.
Aku menggigil seperti orang yang baru mengenalmu.
Padahal bukan begitu, bukan.
Sebenarnya jauh didalam diriku, aku kenal dinginmu, aku tersenyum diam-diam untuk teman lamaku.
Untukmu, untuk reuni kecil kita sore itu.
Pertemuan yang dingin, untukku.

Kau tau, kawan ?
Lelaki yang pernah menjagaku dari dingin yang membuatku kaku tak bergerak sore itu, mengaku akrab denganmu.
Jujur saja, aku cemburu.
Kita seperti asing sejak aku jatuh dihujani olehmu. Lalu dia berlagak tangguh, mengambil alih peranku sebagai teman dekatmu.
Aku yang merindukanmu, sungguh.
Katakan padanya, aku yang lebih dulu mengenalmu. Bukan dia.

Kepada adik-adikku..

Teruntuk kalian, adik-adikku di SDN Rosong..

Hei, apa kabar ?
Kuharap kalian selalu sehat dan bisa tertawa sebahagia minggu lalu saat kita bertemu..
Ini aku, kakak yang pernah kalian ajarkan menyanyi lagu tepuk pramuka.
Sekarang kakak sudah berada di Malang, dan kakak kangen sekali dengan kalian
Keadaan kakak masih sama seperti saat bertemu kalian Senin yang lalu, masih pilek, masih batuk dan demam. Asal kalian tau saja, meskipun sedang dalam keadaaan kurang sehat, kalianlah yang jadi alasan kakak bangun lebih pagi, berlatih presentasi lebih semangat dan mencoba tersenyum lebih lebar hari itu.
Kalian sungguh adik-adik kesayanganku..

Bolehkah aku memanggil kalian dengan sebutan 'teman' ?
Kakakmu ini masihlah seorang bocah, sama saja seperti kalian..
Meskipun aku berwajah lebih tua dan tinggiku melebihi kalian, tapi rasanya aku bukan siapa-siapa ketika berhadapan dengan kalian. Aku tidak lebih baik, aku bahkan pernah memohon untuk diajarkan beberapa kata dalam bahasa kalian lalu merengek untuk diajak bernyanyi bersama kalian.

Kalian masih ingat ?
Minggu lalu, usai mengisi materi presentasi di kelas, kalian pernah bertanya dimana letak Malang. Kemudian aku kebingungan menjelaskannya, dan asal menyebut Surabaya sebagai kota yang berdekatan dengan Malang, tapi kalian hanya mengerenyitkan dahi. Aku menyesal sekali. Aku minta maaf jika keterbatasan pengetahuanku tidak memuaskan rasa ingin tahu kalian.

Sekarang aku ingin bercerita saja..

Malang itu 2 jam jauhnya dari Surabaya, sementara Surabaya itu berbatasan langsung dengan Madura, tapi kalian harus menempuh 4 jam dari Surabaya untuk sampai di pelabuhan Kalianget, Sumenep. Lalu dari pelabuhan, naik kapal ke arah timur selama 2,5 jam menuju dermaga pulau Sapudi.

Jauh ya ? Butuh lebih dari 9 jam perjalanan.
Itu yang membuatku sulit kembali menemui kalian, lebih-lebih karena kapal menuju pulau Sapudi hanya bisa didapati hari kamis pagi, dan kapal untuk kembali pun terjadwal kamis malam saja.


Ohya, kalau orangtua banyak bercerita tentang sejuknya udara di Malang, sebenarnya itu tinggal hanya mitos. Malang itu panas, sama saja seperti Rosong. Bedanya, Malang itu bisa macet, persis kota-kota besar pada umumnya. Buatku, Malang sama halnya kota Megapolitan. Orang bisa punya segalanya disini, telepon genggam berbasis internet bahkan bukan barang mewah. Listrik menyala hampir sepanjang waktu untuk menunjang pekerjaan, pendidikan dan kebutuhan yang lain. Sekali lagi, listrik bukan barang mewah dan bahkan seringkali kami menghamburkannya secara sia-sia. Kami alien megapolitan juga sangat bergantung pada kecanggihan teknologi, seperti laptop, proyektor, dan telepon genggam dengan sejuta pilihan aplikasi chatting.

Malang kota yang sibuk. Pusat perbelanjaan selalu ramai pengunjung, entah apa yang dibutuhkan manusia-manusia di kota ini, mereka seperti tak pernah merasa cukup, tak pernah merasa puas. Begitupun dengan rumah sakit di kota ini, setiap harinya orang datang dan pergi, rumah sakit hampir tak pernah sepi. Benar, semua kehidupan disini bergantung pada teknologi. Dan kota ini seperti tak pernah tidur.

Hei, kawan kecil !
Apakah caraku menceritakan Malang terdengar berlebihan ?
Malang bahkan tidak terlalu hebat..


Desa Rosong lebih tenang, tidak ada macet, tidak ada orang mondar-mandir bekerja dengan wajah serius gaya sok profesional. Orang-orang di Rosong lebih sering tersenyum ramah menyapa.
Esensi nongkrong atau silahturahmi ala-ala pulau ini pun hangat penuh cerita, tuan rumah yang ramah, dan percakapan yang tak pernah sepi. Tak ada yang sibuk dengan ponselnya sendiri.

Setelah delapan hari tinggal di pulau Sapudi, aku mengamati bahwa kadang hidup itu tak melulu tentang mengejar ambisi. Alien megapolitan pasti berpikir bahwa mereka takkan mampu bertahan hidup tanpa gadget, koneksi internet ataupun listrik. Aku bertaruh, mereka pasti akan kalang kabut jika seminggu di pulau Sapudi. Hehe


Pulau ini benar-benar di desain tanpa surat kabar, tanpa sinyal, tanpa koneksi internet dan tanpa listrik di jam-jam produktif manusia. Tidak ada pusat perbelanjaan mewah untuk nongkrong apalagi bergaya layaknya hedon. Aku jamin, anak-anak seumuran kalian di kota megapolitan pasti nangis sejadinya jika tidak bisa memainkan games berbasis internet di layar digitalnya atau PlayStation4 di warnet kesayangannya. Berbeda dengan kalian, ketika banyak orang merutuki nasib, merasa selalu kurang, kalian anak-anak yang berbahagia karena bisa terus tertawa selagi bermain tanpa peduli terhadap apa yang tidak bisa kalian miliki.

Kalian menyadarkanku, bahwa bahagia itu sebenarnya sederhana sekali..

Sebab itu, aku bangga mengakui kalian sebagai adik-adikku, teman sepermainanku :)

Hei, saat aku menuliskan ini, aku sadar betul kalian takkan membacanya. Aku menulisnya hanya karena ingin menguraikan perasaan kangenku kepada kalian. Sengaja kutulis di website gratisan milikku, karena tidak tau ntah kemana harus berkirim surat. Tidak penting kalian membacanya atau tidak. Ya, seandainya bisa terhubung dengan internet, lebih dari tulisan buruk ini, aku ingin membuat video untuk menyapa kalian. Sayangnya, aku harus sudah cukup puas dengan surat yang takkan pernah sampai kepada kalian. Sejak kemarin aku terus teringat kalian, dan seketika bersedih jika kuingat-ingat rasanya tidak mungkin bisa kembali mengunjungi kalian.

Suatu hari, teman-teman..
Kalau ada waktu, dan hanya jika semesta merestui, aku ingin bertemu kalian lagi..
Bolehkah jika nanti kita bertemu, aku ingin memeluk kalian, adik-adikku, satu persatu.. dan berjanjilah lebih banyak mengajarkanku kata dalam bahasa kalian ya..





Salam sayang,
kak Ayu.



Konflik

Perut : Bro, makan dooong siiih..
Otak : Buset, udeh malem malah minta makan.. laper banget ?
Perut : Kaga sih bro, pengen aja.. kebawa ritme kebiasaan makan sehari 3x pas dirumah nih!
Otak : Ahelah, gitu doang..
Perut : Bro, makan bro..
Otak : Udeh, tidur aje sono!
Perut : Bro..
Otak : Apaan sih ?
Perut : Makan yaaa, pliiiis..
Otak : Kaga ah, tar makin gendut tau rasa lu..
Perut : Jahaaaat !!! *kemudian gondok*

Aku nggak ngerti lagi ma isi kepalaku..
Absurd tenan (._. )/||

Tapi serius, aku ga laper, cuma pengen makan aja..
Dan tadi aku ada yang ngajakin keluar buat makan bareng, kutolak aja dong karena pusing jadi males pergi-pergi, males dandannya, males ganti baju bagus.
Yaelah, apa banget dah..
Kaga pernah ada yang ngajakin dinner, giliran ada malah ditolak.
Pantesan aja jomblo..

Patah Hati Terhebat

Pernah nggak ?
Merasa menyayangi sesuatu lalu kehilangan ? Seperti apa rasanya ?

Aku pernah, dan sedang terjadi (lagi).
Dia, teman baikku.
Aku pernah hidup bersamanya, membagi ceritaku hanya dengannya, menghayal bersama, membangun harapan klise tentang masa depan dan kami berjuang beriringan
Dia menyimpan semua tentangku, sehingga aku menjaganya selalu dekatku.
Kami hampir tak pernah terpisah satuan kilometer jauhnya.

Aku utuh, ketika dia ada.
Aku buta soal perasaan, aku tidak tau rasanya mencintai dengan hati. Tapi ketika aku berusaha selalu menjaganya bahagia berada dekatku, aku tau, aku sudah menyayanginya.
Aku mungkin perempuan yang posesif dalam menjaga sesuatu yang kuakui sebagai milikku.
Aku juga tidak pernah terpikir bagaimana jika suatu hari aku akan kehilangannya.

Sampai benar-benar, aku kehilangan dia.
Untuk pertama kalinya, aku menyadari perih patah hati.
Aku kalah.
Aku cuma bocah cengeng yang menangis kehilangan selama dua pekan.
Kemudian merangkak bangun untuk melanjutkan hidup.

Hingga terulang lagi, patah hati yang sama hebatnya.
Kuijinkan diriku menangis sebisanya.
Sampai akhirnya aku tidak mampu berpikir dan merasakan apapun, aku sudah tidak lagi menangis.
Tapi semalam, aku tidak bisa tidur.
Mendadak aku demam lagi, teriring sakit kepala yang menerbangkan kepalaku entah dimana..

Perasaan kehilangan itu selalu sama rasanya, bahkan setelah bertahun-tahun yang lalu.

Karena, akan selalu ada cerita yang sulit untuk diceriterakan.

Setelah delapan hari yang luar bisa di tempat orang, bukan tidak mungkin jika ada hal atau kejadian yang demikian membekas di ingatan. Bahkan hingga hari ini, lucu saja jika aku masih merasa geli sendiri mengingat detail kejadiannya. Kemudian tersenyum kecil menyadari, aku hampir selalu mengingatnya. Selalu. Terus menerus. Rasanya lobus memori temporalku bermasalah..

Ini sedikit berbeda.

Seperti..

Yaaa..
.
.
.
Kau tau, tidak semua hal yang kamu rasakan bisa kamu bagi dengan yang lainnya.

Aku bisa saja menceritakan semuanya, tapi tidak kulakukan. Cerita itu seperti doa yang berurutan alur kisah. Jangan semua dibaca lantang, karena tidak semua peduli, tidak semua mau mengamini. Jadi, jika cerita itu sama halnya dengan doa, maka bayangkan rasanya kalau doamu ditertawakan. 

Pandai-pandailah memilih cerita, beberapa hal layak dijaga atas nama privasi. Untuk kelak ditertawakan sendiri, atau berdua dengan orang yang tepat. Bukan ditertawakan ramai-ramai oleh orang-orang yang sekedar butuh terhibur oleh ceritamu, lalu pergi dan membawa cerita itu untuk menertawakanmu lagi suatu waktu.

Pantai, Ladang Jagung, dan Hujan

Sebelumnya, aku tinggal di rumah ketua pelaksana program, namun untuk kepentingan kegiatan, kami diminta menginap beberapa waktu di rumah ketua LSM. Tidak lama, hanya dua hari satu malam. Tapi penerimaan mereka yang hangat membuatku terkesan, mereka memperlakukan kami bagaikan tamu yang layak dijamu. Dan di hari terakhir menginap, menjelang kepulangan kami ke desa ketua pelaksana, mereka menawarkan wisata pantai dengan pemandangan goa yang menarik. Tentu saja aku sulit menolak, jadilah kuiyakan saja. Tanpa negosiasi dan pikir panjang, kami berangkat ke lokasi, tidak peduli mendung mulai menggelayut. Lanjut saja. Setibanya di lokasi, kami hanya sempat beberapa kali foto lalu bergegas pulang karena gerimis. Walaupun apa daya, gerimis itu bertransformasi jadi hujan deras seketika, dan kami terpaksa berteduh di bawah gubuk beratapkan jerami. Dekat dari sana, sejauh mata memandang, seluruhnya ladang jagung. Kurang lebih satu jam terjebak hujan, dari mulai antusias hingga bosan, kami bicara ngelantur ngalor ngidul, mulai dari bercerita tentang ospek, praktikum, PKM, sampai frustasi menebak-nebak nama latin dari apapun yang kami lihat.

Jujur saja, aku kedinginan. Tapi bahagia. Kau tau, aku selalu suka hujan. 

Karena hujan yang cukup lama, jalanan menjadi sangat licin dan berlumpur. Jadilah motor kami berkubang dalam lumpur. Ban selip, jalan tanjakan dan turunan, bermain dengan resiko. Bukan main rasanya, pengalaman tak terlupakan sepanjang sejarah, dengan belepotan lumpur kami kembali ke rumah ketua LSM untuk mengemasi barang dan pamit pulang.

Sepanjang perjalanan pulang, aku baik-baik saja menerima udara sejuk ini, sampai akhirnya mendadak aku menggigil dan merasa kebas di kaki. Aku kedinginan tidak seperti biasanya. Ini lebih dingin, dan aku belum pernah sekaku ini menerima serangan dingin. Seketika aku nangis. Aku tidak tau, aku hanya merasakan dingin yang teramat sangat, dan kaku di beberapa bagian tubuh. Bukan hujannya menyakitiku, aku hanya sedang kurang sehat ketika menerima serbuan air langit ini. Aku menangis pasrah, menggigil hebat, tapi tidak sedikitpun peduli. Karena pada saat itu, aku merasa kebahagiaanku telah dilengkapkan, aku merasa utuh. Aku tidak lagi mengingat apapun kecuali satu hal..Yaa selalu ada cerita yang sulit untuk dikatakan, kan ?

Telentang Melihat Bintang

Sore hari kamis, aku dan teman-teman membeli dua cakalang putih seukuran bayi dengan harga 30ribu langsung dari tangan nelayan. Dan kami sepakat untuk membakarnya saja. Terbayang jelas, malam ini aku hanya akan menerima menu tunggal. Ikan bakar. Sebagai bocah yang susah makan ikan, aku tak punya  pilihan kecuali menurut saja dan ikut makan.  Sepanjang sore, kami menghabiskan waktu untuk membersihkan ikan, aku kebagian tugas untuk meracik bumbunya, lalu kami membakarnya hingga malam menjelang. Bukan main perjuangan membakar ikan ini, aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk menyalakan bara api pembakaran. Apa daya, jika ternyata semangatku yang kelewat membara ini tidak diimbangi bara api untuk pembakaran ikan. jadilah aku terus mengipas sampai seluruh tubuhku bau asap.

Kebetulan pula hari itu jadwal pemadaman bergilir, artinya tidak akan ada listrik semalam suntuk. Dengan power saver seadanya, kami bisa menyalakan sebuah lampu sederhana sebagai penerangan di teras. Tepat setelah kedua ikan bakar kami siap tersaji, kami berpesta ikan bakar di teras, di bawah langit dengan taburan bintang. Berbumbu canda tawa, gurau, dan pura-pura buang muka, kami hanyut dalam perbincangan ringan. Ada percakapan yang menimbulkan gelak dan pipi yang bersemu merah disembunyikan gelap.

Dan untuk pertama kalinya aku ikhlas mengakui, ikannya enak. Benar saja. Katanya, apapun yang kita dapat setelah perjuangan memang terasa lebih nikmat. 

Usai makan, kami membereskan tempat. Lalu bersantai, membaringkan tubuh diatas kursi persegi yang luas, berjajar seperti pindang dalam besek, mendongak kepada langit. Sungguh, Langit malam itu, benar sedang cantik-cantiknya.

Aku jatuh di pelukan semesta, jatuh mencintai tempat ini, situasi ini, dan langit yang ini.

Siluet Senja di Dermaga

Masih di dermaga yang sama, di sore yang sama pula, usai aku mengantar temanku berganti jaket, kami menghabiskan beberapa waktu untuk berfoto, hingga senja menggelap. Dan hanya gambar siluet kami yang mampu ditangkap lensa kamera. 

Sungguh, aku bisa saja menyukai tempat ini, andai aku lupa, aku punya hidup ditempat yang lain.

 

Tangkapan Besar

Bukan sore yang sibuk saat aku dan teman-teman memutuskan untuk mencari tau dimana akan diadakan karaban sapi yang sejak awal ingin disaksikan, namun sayang, di perjalanan kami tidak menemukan adanya karaban sapi. Jadi diputuskanlah, untuk melaju ke dermaga, melihat orang memancing. 

Pemandangan menarik saat menyaksikan tepat dibawahku, laut yang begitu jernih dipenuhi ikan yang hidup berkoloni, berbaris rapih, begitu dekat dengan mata. Semesta ini punya akuarium raksasa, batinku. Aku tak hentinya mengerjap kagum. Ini benar-benar pemandangan langka. Sempat terbersit dalam hati, keinginan untuk menyelam. Tapi apa daya aku tak punya alat selam, apalagi kemampuan selam. Padahal kudengar sisi dermaga ini mencapai kedalaman lima meter, sementara aku hanya setinggi kaleng krupuk ditumpuk tiga. Yayaya.. kelewat mengada-ada untuk berharap bisa berdekatan dan menyentuh ikan-ikan itu. Aku sudah pasti akan tenggelam, lalu mengambang tanpa napas. Jadilah aku harus cukup puas dengan memandangi laut dari atas sini saja.

Sore itu baik-baik saja, sampai aku memperhatikan gerak-gerik temanku yang seperti hilang kesadaran, mendadak turun dan merosot tercebur ke laut. Aku menjerit sejadinya karena shock. Dia malah tenang tanpa beban pikiran. Aku tak habis pikir apa yang terjadi padanya sampai begitu santainya dia mengulurkan ponselnya untuk diselamatkan terlebih dahulu. 

Baru setelah keluar dari air laut, basah kuyup, dia menggigil sembari berpikir keras kenapa sampai dia mencebur seperti itu. Dia ini, benar-benar...

Aku memandanginya lama sekali, seperti turut merasakan trauma. Sampai akhirnya bisa ikut mentertawakan kekonyolan yang baru saja terjadi. Oke, bukan aku menertawakannya, kami tertawa bersama. Gila saja, aku tak mungkin sejahat itu hahahaha..

Well, diantara banyak sekali orang yang memancing di dermaga ini, dia adalah tangkapan terbesar sore ini.

Monster itu Namanya Sapi

Berhari hari tinggal di rumah dengan suasana desa yang kental, membuatku betah berlama-lama. Lebih dari udara segar dan derik jangkrik yang meneduhkan, aku hampir kehabisan kata mendefinisikan betapa sempurna tempat ini untuk sekedar melepaskan beban duniawiku sebagai mahluk-ambisius-megapolitan. Cuma disini, aku bisa mensyukuri hal-hal kecil yang kutemui. Bahkan bukan barang mewah, demikian sepelenya jika ada di kota besar, tapi jadi luar biasa saat kutemui ada di tempat ini.

Sebagai pendatang, jika tidak sedang buru-buru melakukan sesuatu, bangun pagi aku tidak segera mandi, aku duduk berlama-lama di teras sambil menikmati napas. Melamun tanpa ada yang dipkirkan, hanya sibuk menikmati suasana. Dan seringkali pada saat-saat seperti itu, aku menemukan suara yang lebih mengerikan dari jerit perutku yang lapar. Memang suaranya mirip, tapi ini lebih keras dan lebih lapar. 

Sampai suatu hari aku menyadari suara itu tak hanya muncul pagi buta, kadang juga terdengar malam-malam, atau siang bolong. Pokoknya suka-suka dia mau bunyi kapanpun. Dan usut-punya usut, sumber suara itu datangnya dari lahan kosong di samping rumah. Lebih tepatnya dari dalam bangun persegi yang mirip kandang sapi. Bukan mengejutkan jika suara itu memang suara sapi. Sungguh, untuk kepentingan postingan ini saja, kubuat sedikit lebih dramatis. Jadi setelah berhari hari aku mendengar suara itu tanpa melihat wujud keberadaan sosok sapi disana, aku asal meyakini saja, bahwa suara monster yang sering kudengar itu pasti milik si sapi.Tapi mana toh, sapinya ?

Sebagai alien megapolitan, aku tentu saja aneh jika tidak mengenali suara itu. Yaa anggaplah telingaku terlalu sering tercemar suara-suara klakson dan knalpot. Sampai suara sapi saja kuanggap monster..

Nyanyian Bocah

Katak celeng, katak puteh cak loncakan..
Katak ker-ker, katak biru rek lerekan..
Nyinyanyian sakanca’an..
Nyinyanyian cak loncakan..
Mari kita tepuk pramuka..

Itu bait terkhir dari lagu yang mampu kuhafal, diajarkan langsung oleh anak-anak SDN Rosong. Bagian yang paling kuingat dari hari itu adalah cara mereka bersabar mengajarkanku menghafal lagu itu kemudian bernyanyi bersama dan mengakhiri lagu dengan tepuk tangan.

Satu hal yang baru saja kusadari, ternyata ada seorang bocah yang terperangkap dalam tubuh seukuran kaiju ini. Aku tidak tahu, rasanya lucu jika diingat-ingat, aku bisa secepat itu berteman dengan anak kecil, seolah-olah aku adalah salah satu dari mereka. Sebaya. 

Cerita ini datang dari suatu pagi yang terencana, aku dan tim mendatangi sekolah dasar di satu desa dan akan mensosialisasikan program yang akan kami usung kepada adik-adik SD. Terkait tidak adanya listrik siang hari di pulau itu, berbekal genset, kami nekat menampilkan materi presentasi menggunakan proyektor. Tapi sebelum presentasi dimulai, aku turut serta dalam upacara bendera pagi itu. lucunya, jika seluruh siswa di sekolah ini dikumpulkan, jumlah mereka bahkan tidak lebih dari jumlah siswa dalam satu kelas sekolah dasarku dulu. Tapi semangat mereka, luar biasa mengagumkan. Itung-itung nostalgia, aku benar-benar menikmati jalannya upacara, tidak peduli terik matahari yang makin menyengat. Aku terus saja memperhatikan dengan seksama gerak-gerik mereka yang menjadi petugas upacara. Selesai upacara kami semua berkumpul pada satu kelas yang sudah di setting untuk presentasi, lalu setelah mendengar sambutan, tibalah gilaranku menyampaikan materi. Sorak sorai mereka membuatku tersenyum lebih lebar, terlebih saat kutanyai siapa yang mengingat namaku, satu kelas berteriak menyebutkan namaku dengan lantang. Mereka mengingatnya. Suasana menjadi lebih menyenangkan saat kudapati adik-adik ini gelak tertawa bahagia, mengagumi video penutup presentasi.  Usai presentasi, pada jeda waktu menunggu persiapan pelaksanaan program kami, kami sedikit bercanda dan aku meminta diajarkan beberapa kata dalam bahasa mereka. Dan jika didesak lebih bersemangat lagi, aku memelas agar diajarkan lagu yang tertulis di papan tulis mereka, seorang bocah perempuan malah menyuruhku mencatat liriknya. Kemudian kami lebur dalam suasana, seperti telah begitu lama saling mengenal. Setelah kegiatan berakhir, kukembalikan mereka ke dalam kelas lalu berpamitan kepada guru dan kepala sekolah.

Tebak, apa yang kudapati ? Mereka menyerbuku, menghujaniku dengan pertanyaan ‘kapan kembali lagi kesini, kak ?’ Demi Tuhan, sikap mereka manis sekali. Jika saja aku tidak dalam keadaan pilek, aku ingin sekali memberi peluk cium perpisahan, sayangnya tidak kulakukan, aku tidak mau menularkan virus pada bocah-bocah manis ini. 

Sekarang, setiap kali mengingat anak-anak SD, ada gelitik pertanyaan dalam hati tentang apakah mereka masih mengingatku, karena aku selalu saja mengingat mereka..

Klarifikasi dan Permohonan Maaf

Oke, hai!

Aku mau klarifikasi hilangnya kabar diriku selama seminggu. Aku tidak hilang di telan bumi, kok. Cuma terdampar di pulau nun jauh, dan tentu saja disana listrik dan jaringan untuk komunikasi sulit didapat. Mari kuperkenalkan, namanya pulau Sapudi, aku belum pernah mengukur dengan pasti luasnya, tapi kau butuh lebih dari tiga jam berkendara untuk mengitari pulau ini. Persis, untuk mendapatkan sinyal  pun, ada kilometer yang harus kau tempuh melawan teriknya matahari. 

Tapi ini pulau Sapudi, hanya jika kau yakin mau menjalani hidup disini, kau akan tanpa ragu melepas atribut duniawi. Semuanya, bahkan ponsel berbasis internet tak akan punya nyawa arti disini. Setidaknya itu yang terjadi padaku dalam kurun waktu seminggu. Tanpa kabar berita, tanpa koneksi internet. Terasing dari kehidupan megapolitanku yang riuh. Tanpa beban perasaan, akan ada yang mencariku

Lanjut, omong-omong cuaca, cuaca di tempat ini luar biasa cerah, bahkan seolah-olah mampu melunturkan kecerahan kulitku. Sekarang jelaskan, bagaimana kau akan menjalani hidup di pulau tanpa listrik, surat kabar, apalagi warnet, jika bukan dengan menjelajah sawah, menelusuri hutan atau main ke pantai. Bukan mengejutkan, jika sekembalinya dari pulau ini, aku menghitam.

Jadi, teman-teman.. aku mohon maaf karena selama semingu ini aku seperti hilang tanpa jejak. Bukan bermaksud lari dari tanggung jawabku. Tapi aku terikat urusan yang jauh lebih mendesak untuk mengabdi pada masyarakat pulau Sapudi, mengenal kehidupan yang tenang, lebih tentram, dan jauh dari bising dan huru-hara orang-orang kota. Dan, aku bisa ceritakan banyak hal yang membuatku tak henti mengucap syukur diberi kesempatan belajar dan mengabdi di tempat ini.

Nanti pasti akan kuceritakan !

Merusak Hati.

Maaf.
Tapi bukankah kita saling tau kopi itu selalu sama pahitnya.
Kau minum juga akhirnya, kau rutuki juga setelahnya.
Bukan main, kau..

Mungkin ada yang salah denganku, jika sampai benar-benar kau menyalahkan sikap santaiku. Atau kesalahan itu bisa jadi milikmu.

Sadarilah bahwa pahit yang kau teguk itu tak layak dirutuki, tak pantas disesali.
Rasanya kita sudah ratusan kali menyesap pahit. Dan sama semua.
Lalu apa yang jadi masalah ?
Diamlah, jangan meracau.. Jangan kau teguk kalau tak suka.
Jangan meracau.. Kau terlihat semakin putus asa.
Jangan meracau.. Tolong, jangan..

Sekarang kau tidak hanya memaki pahit, tapi juga aku.
Hanya karena aku diam dan tidak bereaksi apapun, bukan berarti aku tak berpikir.
Kau menyalahkan aku yang tak menyesali keadaan, kemana saja ?
Dari dulu, aku tak pernah menyesali hidupku, semuanya. Semuanya, tanpa kecuali.
Kau saja tak pernah memperhatikan.
Ketika aku berpikir, aku menemukan lebih banyak hal yang membuatku bersyukur tanpa bersorak, tak ada lagi alasan untuk menyesal.
Kau tau kenapa bisa begitu ? Aku diam saat berpikir, aku tenang.

Kuingatkan saja, kopi itu akan tetap pahit.
Tak usah kau seduh lagi, tak usah kau reguk lagi.
Sudah cukup, pahit itu ternyata tak membuatmu belajar untuk terbiasa.
Sudah cukup.

Aku tidak ingin merusak hati, dengan kecewa.
Maaf.

Reuni Kecil

" Wah, sekarang kamu sudah nggak bisa bawa-bawa telpon rumah untuk kuliah ya ? " sergah si ibu.

Kami baru saja bertemu, kemudian aku mencium punggung tangan beliau sembari bertanya kabar, beliau menjawab dengan sumringah lalu bertanya tentang kabar telepon rumahku. Sungguh pertanyaan mengejutkan dari seorang guru fisika terhadap mantan muridnya. Aku lantas mengerenyitkan dahi, mendengar ibu guru di hadapanku mengulang cerita dua tahun yang lalu diiringi gelak tawa yang masih sama ketika peristiwa itu berlangsung.

" Saya nggak mungkin lupa, kamu itu satu-satunya murid saya yang bawa telepon rumah ke sekolah, dan itu bikin saya ketawa bukan main.. "
" ... " nyengir kuda, tersipu malu.
" Tapi sekarang kamu ga mungkin bawa telepon rumahmu kan ? telpon flexi udah nggak bisa kan ?"
" Telponnya sudah rusak bu hehe.." kembali nyengir, kali ini terharu.



Di tempat lain,

" Kamu Ayu Retno ya ? "
" Iyu bu, masih ingat saya ? "
" Apa kabar ayu ? Foto kamu baru saja ibu pajang di slide untuk memotivasi adik-adik kelas 12 "
" Alhamdulillah bu, sehat.. Ibu, apa kabar ? "
" Sehat, alhamdulilaah.. baru saja ibu mengisi materi, ada foto kamu disana " sambil menunjuk layar proyektor.

Lain lagi, bu Ana, guru bimbingan konseling kami. Aku sudah pasrah jika tak seorang guru pun akan mengingat sosokku. Maklum saja, aku bukan siswa berprestasi. Juga bukan aktivis OSIS. Kontribusiku dalam membanggakan nama baik sekolah nyaris tak ada. Di kelas pun aku tidak menonjol. Tapi, kenyataannya, aku diingat setidaknya oleh satu atau dua guru saja cukup. Ini sebuah kehormatan.

Surabaya, 26 Januari 2015


-SMAN 19


Aku hampir tidak pernah mengunjungi bangunan itu sejak terakhir kali dinyatakan lulus SMA. Dan ketika aku kembali, duduk di aula dan menatap anak-anak berseragam putih abu-abu ini hanya melongo menerima materi motivasi menjelang Ujian Nasional, aku cuma tersenyum kecil.
.
.
Karena aku pernah ada disana.
Ditengah-tengah siswa berseragam putih abu-abu itu.
Aku termasuk satu yang termakan motivasi, kemudian siang malam belajar dan setengah mati memohon untuk mendapatkan almamater.



Cerita Tentang Teh Hangat dan Susu Jahe

Segelas teh hangat dan susu jahe. Anggap saja dua jenis minuman itu adalah kita, yang terhidang di meja semesta malam itu. Sedari dingin m...