Telentang Melihat Bintang

Sore hari kamis, aku dan teman-teman membeli dua cakalang putih seukuran bayi dengan harga 30ribu langsung dari tangan nelayan. Dan kami sepakat untuk membakarnya saja. Terbayang jelas, malam ini aku hanya akan menerima menu tunggal. Ikan bakar. Sebagai bocah yang susah makan ikan, aku tak punya  pilihan kecuali menurut saja dan ikut makan.  Sepanjang sore, kami menghabiskan waktu untuk membersihkan ikan, aku kebagian tugas untuk meracik bumbunya, lalu kami membakarnya hingga malam menjelang. Bukan main perjuangan membakar ikan ini, aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk menyalakan bara api pembakaran. Apa daya, jika ternyata semangatku yang kelewat membara ini tidak diimbangi bara api untuk pembakaran ikan. jadilah aku terus mengipas sampai seluruh tubuhku bau asap.

Kebetulan pula hari itu jadwal pemadaman bergilir, artinya tidak akan ada listrik semalam suntuk. Dengan power saver seadanya, kami bisa menyalakan sebuah lampu sederhana sebagai penerangan di teras. Tepat setelah kedua ikan bakar kami siap tersaji, kami berpesta ikan bakar di teras, di bawah langit dengan taburan bintang. Berbumbu canda tawa, gurau, dan pura-pura buang muka, kami hanyut dalam perbincangan ringan. Ada percakapan yang menimbulkan gelak dan pipi yang bersemu merah disembunyikan gelap.

Dan untuk pertama kalinya aku ikhlas mengakui, ikannya enak. Benar saja. Katanya, apapun yang kita dapat setelah perjuangan memang terasa lebih nikmat. 

Usai makan, kami membereskan tempat. Lalu bersantai, membaringkan tubuh diatas kursi persegi yang luas, berjajar seperti pindang dalam besek, mendongak kepada langit. Sungguh, Langit malam itu, benar sedang cantik-cantiknya.

Aku jatuh di pelukan semesta, jatuh mencintai tempat ini, situasi ini, dan langit yang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerita Tentang Teh Hangat dan Susu Jahe

Segelas teh hangat dan susu jahe. Anggap saja dua jenis minuman itu adalah kita, yang terhidang di meja semesta malam itu. Sedari dingin m...