Idealis vs Realistis

Aku lupa kapan terakhir, aku jadi anak idealis.
Menyusun rencana A sampai Z.
Membuat wish list, yang paling tidak satu tahun harus ada satu pencapaian.
Aku bahkan masih ingat isinya..

Umur 18, jadi maba FK UGM
Umur 19, novel pertama terbit
Umur 20, sibuk kuliah, jadi asdos hehe
Umur 21, wisuda S.Ked
Umur 22, masih Koas, (mungkin) jadi tante
Umur 23, wisuda profesi dokter.
Umur 24, udah kerja, boleh pacaran, kenalin calon ke keluarga.
Umur 25, nikah.
Umur 26, anak pertama lahir, (mungkin) novel kedua terbit.
Umur 27, Pendidikan profesi dokter spesialis (penyakit dalam)
Umur 28, luluss, wisuda.
Umur 29, anak kedua lahir.
Umur 30, biayai orang tua naik haji (amiin)
Umur 31, buka usaha kost.
Umur 32, ...

Kemudian, aku berhenti.
Sejenak berpikir kemudian bertanya,
Kenapa aku bisa demikian yakin hidupku akan selurus itu ?
Semudah itu ? Sesempurna itu ?
Dari mana aku tau, umurku akan sepanjang itu ?
Hei, sedang apa aku ini ?

Simply, aku mikirnya ini jadi ga penting lagi.
Buat apa aku bikin daftar pencapaian yang almost perfect sementara keadaanku begini saja.
Untuk skill, effort, atau apapun itu, rasanya aku belum pantas.
Lagipula, siapalah aku ini..
Sudah sok ngatur apa apa saja yang akan terjadi dari tahun ke tahun.
Padahal dua detik yang akan datang saja belum tentu jadi milikku.
Sebagai seorang pemimpi, aku agak berlebihan.

Dan seketika itupun aku jadi realistis.
Menyadari diri, aku terlalu jauh berkhayal.
Aku melayang terlalu tinggi, dan kadang aku jatuh.
Kemudian bangkit dan kembali jatuh.
Sakit itu pasti, bahkan sedikit trauma.
Kelelahan jatuh dan merangkak naik ke atas.
Tapi setelah berkali-kali jatuh, aku bosan.
Tempat itu jadi terlalu tinggi untukku, jadi aku jalan pelan.
Menaiki satu persatu anak tangga sambil mengukur kemampuan.
Dan berhenti di anak tangga manapun  yang cukup membuatku nyaman untuk tinggal dan menetap.

Aku harus mengabaikan kertas berisi daftar pencapaianku itu.
Berhenti jadi pemimpi, tidak lagi ambisius.
Yaa sedikit berkhayal, tapi hanya untuk menyemangati diri.
Nggak harus selalu dikhayalkan, ada baiknya aku berusaha semampuku.
Jadi, apapun hasilnya.. aku nggak akan terpuruk kecewa.

Satu hal, ternyata aku si tukang khayal yang realistis hehe.
Aku masih bisa memerangi imajinasiku sendiri dengan logika yang kupunya.
Seperti ada dua 'aku' didalam satu tubuh.
Dua 'aku' yang sangat bertolak belakang.

Kau tau, jadi realistis dan memerangi khayalku adalah sulit.
Sangat sulit ketika harus merasakan nyeri dikepala karna perang akal.
Ada khayal yang menggelayut manja, ada logika yang menghardik
Tapi logika ini lebih unggul, dia yang mengendalikanku untuk jadi realistis.
Walaupun kadang, khayal itu masih sering mampir.

Sekarang aku anak yang realistis.
Daftar pencapaian itu, cuma kertas.
Tanpanya, semua akan baik-baik saja.
Jalani saja, hadapi saja.
Yaa, kalau memang ada yang harus dicapai, aku akan berusaha.
Bukan hanya sekedar menulisnya hehe..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerita Tentang Teh Hangat dan Susu Jahe

Segelas teh hangat dan susu jahe. Anggap saja dua jenis minuman itu adalah kita, yang terhidang di meja semesta malam itu. Sedari dingin m...