Kepada adik-adikku..

Teruntuk kalian, adik-adikku di SDN Rosong..

Hei, apa kabar ?
Kuharap kalian selalu sehat dan bisa tertawa sebahagia minggu lalu saat kita bertemu..
Ini aku, kakak yang pernah kalian ajarkan menyanyi lagu tepuk pramuka.
Sekarang kakak sudah berada di Malang, dan kakak kangen sekali dengan kalian
Keadaan kakak masih sama seperti saat bertemu kalian Senin yang lalu, masih pilek, masih batuk dan demam. Asal kalian tau saja, meskipun sedang dalam keadaaan kurang sehat, kalianlah yang jadi alasan kakak bangun lebih pagi, berlatih presentasi lebih semangat dan mencoba tersenyum lebih lebar hari itu.
Kalian sungguh adik-adik kesayanganku..

Bolehkah aku memanggil kalian dengan sebutan 'teman' ?
Kakakmu ini masihlah seorang bocah, sama saja seperti kalian..
Meskipun aku berwajah lebih tua dan tinggiku melebihi kalian, tapi rasanya aku bukan siapa-siapa ketika berhadapan dengan kalian. Aku tidak lebih baik, aku bahkan pernah memohon untuk diajarkan beberapa kata dalam bahasa kalian lalu merengek untuk diajak bernyanyi bersama kalian.

Kalian masih ingat ?
Minggu lalu, usai mengisi materi presentasi di kelas, kalian pernah bertanya dimana letak Malang. Kemudian aku kebingungan menjelaskannya, dan asal menyebut Surabaya sebagai kota yang berdekatan dengan Malang, tapi kalian hanya mengerenyitkan dahi. Aku menyesal sekali. Aku minta maaf jika keterbatasan pengetahuanku tidak memuaskan rasa ingin tahu kalian.

Sekarang aku ingin bercerita saja..

Malang itu 2 jam jauhnya dari Surabaya, sementara Surabaya itu berbatasan langsung dengan Madura, tapi kalian harus menempuh 4 jam dari Surabaya untuk sampai di pelabuhan Kalianget, Sumenep. Lalu dari pelabuhan, naik kapal ke arah timur selama 2,5 jam menuju dermaga pulau Sapudi.

Jauh ya ? Butuh lebih dari 9 jam perjalanan.
Itu yang membuatku sulit kembali menemui kalian, lebih-lebih karena kapal menuju pulau Sapudi hanya bisa didapati hari kamis pagi, dan kapal untuk kembali pun terjadwal kamis malam saja.


Ohya, kalau orangtua banyak bercerita tentang sejuknya udara di Malang, sebenarnya itu tinggal hanya mitos. Malang itu panas, sama saja seperti Rosong. Bedanya, Malang itu bisa macet, persis kota-kota besar pada umumnya. Buatku, Malang sama halnya kota Megapolitan. Orang bisa punya segalanya disini, telepon genggam berbasis internet bahkan bukan barang mewah. Listrik menyala hampir sepanjang waktu untuk menunjang pekerjaan, pendidikan dan kebutuhan yang lain. Sekali lagi, listrik bukan barang mewah dan bahkan seringkali kami menghamburkannya secara sia-sia. Kami alien megapolitan juga sangat bergantung pada kecanggihan teknologi, seperti laptop, proyektor, dan telepon genggam dengan sejuta pilihan aplikasi chatting.

Malang kota yang sibuk. Pusat perbelanjaan selalu ramai pengunjung, entah apa yang dibutuhkan manusia-manusia di kota ini, mereka seperti tak pernah merasa cukup, tak pernah merasa puas. Begitupun dengan rumah sakit di kota ini, setiap harinya orang datang dan pergi, rumah sakit hampir tak pernah sepi. Benar, semua kehidupan disini bergantung pada teknologi. Dan kota ini seperti tak pernah tidur.

Hei, kawan kecil !
Apakah caraku menceritakan Malang terdengar berlebihan ?
Malang bahkan tidak terlalu hebat..


Desa Rosong lebih tenang, tidak ada macet, tidak ada orang mondar-mandir bekerja dengan wajah serius gaya sok profesional. Orang-orang di Rosong lebih sering tersenyum ramah menyapa.
Esensi nongkrong atau silahturahmi ala-ala pulau ini pun hangat penuh cerita, tuan rumah yang ramah, dan percakapan yang tak pernah sepi. Tak ada yang sibuk dengan ponselnya sendiri.

Setelah delapan hari tinggal di pulau Sapudi, aku mengamati bahwa kadang hidup itu tak melulu tentang mengejar ambisi. Alien megapolitan pasti berpikir bahwa mereka takkan mampu bertahan hidup tanpa gadget, koneksi internet ataupun listrik. Aku bertaruh, mereka pasti akan kalang kabut jika seminggu di pulau Sapudi. Hehe


Pulau ini benar-benar di desain tanpa surat kabar, tanpa sinyal, tanpa koneksi internet dan tanpa listrik di jam-jam produktif manusia. Tidak ada pusat perbelanjaan mewah untuk nongkrong apalagi bergaya layaknya hedon. Aku jamin, anak-anak seumuran kalian di kota megapolitan pasti nangis sejadinya jika tidak bisa memainkan games berbasis internet di layar digitalnya atau PlayStation4 di warnet kesayangannya. Berbeda dengan kalian, ketika banyak orang merutuki nasib, merasa selalu kurang, kalian anak-anak yang berbahagia karena bisa terus tertawa selagi bermain tanpa peduli terhadap apa yang tidak bisa kalian miliki.

Kalian menyadarkanku, bahwa bahagia itu sebenarnya sederhana sekali..

Sebab itu, aku bangga mengakui kalian sebagai adik-adikku, teman sepermainanku :)

Hei, saat aku menuliskan ini, aku sadar betul kalian takkan membacanya. Aku menulisnya hanya karena ingin menguraikan perasaan kangenku kepada kalian. Sengaja kutulis di website gratisan milikku, karena tidak tau ntah kemana harus berkirim surat. Tidak penting kalian membacanya atau tidak. Ya, seandainya bisa terhubung dengan internet, lebih dari tulisan buruk ini, aku ingin membuat video untuk menyapa kalian. Sayangnya, aku harus sudah cukup puas dengan surat yang takkan pernah sampai kepada kalian. Sejak kemarin aku terus teringat kalian, dan seketika bersedih jika kuingat-ingat rasanya tidak mungkin bisa kembali mengunjungi kalian.

Suatu hari, teman-teman..
Kalau ada waktu, dan hanya jika semesta merestui, aku ingin bertemu kalian lagi..
Bolehkah jika nanti kita bertemu, aku ingin memeluk kalian, adik-adikku, satu persatu.. dan berjanjilah lebih banyak mengajarkanku kata dalam bahasa kalian ya..





Salam sayang,
kak Ayu.



Konflik

Perut : Bro, makan dooong siiih..
Otak : Buset, udeh malem malah minta makan.. laper banget ?
Perut : Kaga sih bro, pengen aja.. kebawa ritme kebiasaan makan sehari 3x pas dirumah nih!
Otak : Ahelah, gitu doang..
Perut : Bro, makan bro..
Otak : Udeh, tidur aje sono!
Perut : Bro..
Otak : Apaan sih ?
Perut : Makan yaaa, pliiiis..
Otak : Kaga ah, tar makin gendut tau rasa lu..
Perut : Jahaaaat !!! *kemudian gondok*

Aku nggak ngerti lagi ma isi kepalaku..
Absurd tenan (._. )/||

Tapi serius, aku ga laper, cuma pengen makan aja..
Dan tadi aku ada yang ngajakin keluar buat makan bareng, kutolak aja dong karena pusing jadi males pergi-pergi, males dandannya, males ganti baju bagus.
Yaelah, apa banget dah..
Kaga pernah ada yang ngajakin dinner, giliran ada malah ditolak.
Pantesan aja jomblo..

Patah Hati Terhebat

Pernah nggak ?
Merasa menyayangi sesuatu lalu kehilangan ? Seperti apa rasanya ?

Aku pernah, dan sedang terjadi (lagi).
Dia, teman baikku.
Aku pernah hidup bersamanya, membagi ceritaku hanya dengannya, menghayal bersama, membangun harapan klise tentang masa depan dan kami berjuang beriringan
Dia menyimpan semua tentangku, sehingga aku menjaganya selalu dekatku.
Kami hampir tak pernah terpisah satuan kilometer jauhnya.

Aku utuh, ketika dia ada.
Aku buta soal perasaan, aku tidak tau rasanya mencintai dengan hati. Tapi ketika aku berusaha selalu menjaganya bahagia berada dekatku, aku tau, aku sudah menyayanginya.
Aku mungkin perempuan yang posesif dalam menjaga sesuatu yang kuakui sebagai milikku.
Aku juga tidak pernah terpikir bagaimana jika suatu hari aku akan kehilangannya.

Sampai benar-benar, aku kehilangan dia.
Untuk pertama kalinya, aku menyadari perih patah hati.
Aku kalah.
Aku cuma bocah cengeng yang menangis kehilangan selama dua pekan.
Kemudian merangkak bangun untuk melanjutkan hidup.

Hingga terulang lagi, patah hati yang sama hebatnya.
Kuijinkan diriku menangis sebisanya.
Sampai akhirnya aku tidak mampu berpikir dan merasakan apapun, aku sudah tidak lagi menangis.
Tapi semalam, aku tidak bisa tidur.
Mendadak aku demam lagi, teriring sakit kepala yang menerbangkan kepalaku entah dimana..

Perasaan kehilangan itu selalu sama rasanya, bahkan setelah bertahun-tahun yang lalu.

Karena, akan selalu ada cerita yang sulit untuk diceriterakan.

Setelah delapan hari yang luar bisa di tempat orang, bukan tidak mungkin jika ada hal atau kejadian yang demikian membekas di ingatan. Bahkan hingga hari ini, lucu saja jika aku masih merasa geli sendiri mengingat detail kejadiannya. Kemudian tersenyum kecil menyadari, aku hampir selalu mengingatnya. Selalu. Terus menerus. Rasanya lobus memori temporalku bermasalah..

Ini sedikit berbeda.

Seperti..

Yaaa..
.
.
.
Kau tau, tidak semua hal yang kamu rasakan bisa kamu bagi dengan yang lainnya.

Aku bisa saja menceritakan semuanya, tapi tidak kulakukan. Cerita itu seperti doa yang berurutan alur kisah. Jangan semua dibaca lantang, karena tidak semua peduli, tidak semua mau mengamini. Jadi, jika cerita itu sama halnya dengan doa, maka bayangkan rasanya kalau doamu ditertawakan. 

Pandai-pandailah memilih cerita, beberapa hal layak dijaga atas nama privasi. Untuk kelak ditertawakan sendiri, atau berdua dengan orang yang tepat. Bukan ditertawakan ramai-ramai oleh orang-orang yang sekedar butuh terhibur oleh ceritamu, lalu pergi dan membawa cerita itu untuk menertawakanmu lagi suatu waktu.

Pantai, Ladang Jagung, dan Hujan

Sebelumnya, aku tinggal di rumah ketua pelaksana program, namun untuk kepentingan kegiatan, kami diminta menginap beberapa waktu di rumah ketua LSM. Tidak lama, hanya dua hari satu malam. Tapi penerimaan mereka yang hangat membuatku terkesan, mereka memperlakukan kami bagaikan tamu yang layak dijamu. Dan di hari terakhir menginap, menjelang kepulangan kami ke desa ketua pelaksana, mereka menawarkan wisata pantai dengan pemandangan goa yang menarik. Tentu saja aku sulit menolak, jadilah kuiyakan saja. Tanpa negosiasi dan pikir panjang, kami berangkat ke lokasi, tidak peduli mendung mulai menggelayut. Lanjut saja. Setibanya di lokasi, kami hanya sempat beberapa kali foto lalu bergegas pulang karena gerimis. Walaupun apa daya, gerimis itu bertransformasi jadi hujan deras seketika, dan kami terpaksa berteduh di bawah gubuk beratapkan jerami. Dekat dari sana, sejauh mata memandang, seluruhnya ladang jagung. Kurang lebih satu jam terjebak hujan, dari mulai antusias hingga bosan, kami bicara ngelantur ngalor ngidul, mulai dari bercerita tentang ospek, praktikum, PKM, sampai frustasi menebak-nebak nama latin dari apapun yang kami lihat.

Jujur saja, aku kedinginan. Tapi bahagia. Kau tau, aku selalu suka hujan. 

Karena hujan yang cukup lama, jalanan menjadi sangat licin dan berlumpur. Jadilah motor kami berkubang dalam lumpur. Ban selip, jalan tanjakan dan turunan, bermain dengan resiko. Bukan main rasanya, pengalaman tak terlupakan sepanjang sejarah, dengan belepotan lumpur kami kembali ke rumah ketua LSM untuk mengemasi barang dan pamit pulang.

Sepanjang perjalanan pulang, aku baik-baik saja menerima udara sejuk ini, sampai akhirnya mendadak aku menggigil dan merasa kebas di kaki. Aku kedinginan tidak seperti biasanya. Ini lebih dingin, dan aku belum pernah sekaku ini menerima serangan dingin. Seketika aku nangis. Aku tidak tau, aku hanya merasakan dingin yang teramat sangat, dan kaku di beberapa bagian tubuh. Bukan hujannya menyakitiku, aku hanya sedang kurang sehat ketika menerima serbuan air langit ini. Aku menangis pasrah, menggigil hebat, tapi tidak sedikitpun peduli. Karena pada saat itu, aku merasa kebahagiaanku telah dilengkapkan, aku merasa utuh. Aku tidak lagi mengingat apapun kecuali satu hal..Yaa selalu ada cerita yang sulit untuk dikatakan, kan ?

Telentang Melihat Bintang

Sore hari kamis, aku dan teman-teman membeli dua cakalang putih seukuran bayi dengan harga 30ribu langsung dari tangan nelayan. Dan kami sepakat untuk membakarnya saja. Terbayang jelas, malam ini aku hanya akan menerima menu tunggal. Ikan bakar. Sebagai bocah yang susah makan ikan, aku tak punya  pilihan kecuali menurut saja dan ikut makan.  Sepanjang sore, kami menghabiskan waktu untuk membersihkan ikan, aku kebagian tugas untuk meracik bumbunya, lalu kami membakarnya hingga malam menjelang. Bukan main perjuangan membakar ikan ini, aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk menyalakan bara api pembakaran. Apa daya, jika ternyata semangatku yang kelewat membara ini tidak diimbangi bara api untuk pembakaran ikan. jadilah aku terus mengipas sampai seluruh tubuhku bau asap.

Kebetulan pula hari itu jadwal pemadaman bergilir, artinya tidak akan ada listrik semalam suntuk. Dengan power saver seadanya, kami bisa menyalakan sebuah lampu sederhana sebagai penerangan di teras. Tepat setelah kedua ikan bakar kami siap tersaji, kami berpesta ikan bakar di teras, di bawah langit dengan taburan bintang. Berbumbu canda tawa, gurau, dan pura-pura buang muka, kami hanyut dalam perbincangan ringan. Ada percakapan yang menimbulkan gelak dan pipi yang bersemu merah disembunyikan gelap.

Dan untuk pertama kalinya aku ikhlas mengakui, ikannya enak. Benar saja. Katanya, apapun yang kita dapat setelah perjuangan memang terasa lebih nikmat. 

Usai makan, kami membereskan tempat. Lalu bersantai, membaringkan tubuh diatas kursi persegi yang luas, berjajar seperti pindang dalam besek, mendongak kepada langit. Sungguh, Langit malam itu, benar sedang cantik-cantiknya.

Aku jatuh di pelukan semesta, jatuh mencintai tempat ini, situasi ini, dan langit yang ini.

Siluet Senja di Dermaga

Masih di dermaga yang sama, di sore yang sama pula, usai aku mengantar temanku berganti jaket, kami menghabiskan beberapa waktu untuk berfoto, hingga senja menggelap. Dan hanya gambar siluet kami yang mampu ditangkap lensa kamera. 

Sungguh, aku bisa saja menyukai tempat ini, andai aku lupa, aku punya hidup ditempat yang lain.

 

Tangkapan Besar

Bukan sore yang sibuk saat aku dan teman-teman memutuskan untuk mencari tau dimana akan diadakan karaban sapi yang sejak awal ingin disaksikan, namun sayang, di perjalanan kami tidak menemukan adanya karaban sapi. Jadi diputuskanlah, untuk melaju ke dermaga, melihat orang memancing. 

Pemandangan menarik saat menyaksikan tepat dibawahku, laut yang begitu jernih dipenuhi ikan yang hidup berkoloni, berbaris rapih, begitu dekat dengan mata. Semesta ini punya akuarium raksasa, batinku. Aku tak hentinya mengerjap kagum. Ini benar-benar pemandangan langka. Sempat terbersit dalam hati, keinginan untuk menyelam. Tapi apa daya aku tak punya alat selam, apalagi kemampuan selam. Padahal kudengar sisi dermaga ini mencapai kedalaman lima meter, sementara aku hanya setinggi kaleng krupuk ditumpuk tiga. Yayaya.. kelewat mengada-ada untuk berharap bisa berdekatan dan menyentuh ikan-ikan itu. Aku sudah pasti akan tenggelam, lalu mengambang tanpa napas. Jadilah aku harus cukup puas dengan memandangi laut dari atas sini saja.

Sore itu baik-baik saja, sampai aku memperhatikan gerak-gerik temanku yang seperti hilang kesadaran, mendadak turun dan merosot tercebur ke laut. Aku menjerit sejadinya karena shock. Dia malah tenang tanpa beban pikiran. Aku tak habis pikir apa yang terjadi padanya sampai begitu santainya dia mengulurkan ponselnya untuk diselamatkan terlebih dahulu. 

Baru setelah keluar dari air laut, basah kuyup, dia menggigil sembari berpikir keras kenapa sampai dia mencebur seperti itu. Dia ini, benar-benar...

Aku memandanginya lama sekali, seperti turut merasakan trauma. Sampai akhirnya bisa ikut mentertawakan kekonyolan yang baru saja terjadi. Oke, bukan aku menertawakannya, kami tertawa bersama. Gila saja, aku tak mungkin sejahat itu hahahaha..

Well, diantara banyak sekali orang yang memancing di dermaga ini, dia adalah tangkapan terbesar sore ini.

Monster itu Namanya Sapi

Berhari hari tinggal di rumah dengan suasana desa yang kental, membuatku betah berlama-lama. Lebih dari udara segar dan derik jangkrik yang meneduhkan, aku hampir kehabisan kata mendefinisikan betapa sempurna tempat ini untuk sekedar melepaskan beban duniawiku sebagai mahluk-ambisius-megapolitan. Cuma disini, aku bisa mensyukuri hal-hal kecil yang kutemui. Bahkan bukan barang mewah, demikian sepelenya jika ada di kota besar, tapi jadi luar biasa saat kutemui ada di tempat ini.

Sebagai pendatang, jika tidak sedang buru-buru melakukan sesuatu, bangun pagi aku tidak segera mandi, aku duduk berlama-lama di teras sambil menikmati napas. Melamun tanpa ada yang dipkirkan, hanya sibuk menikmati suasana. Dan seringkali pada saat-saat seperti itu, aku menemukan suara yang lebih mengerikan dari jerit perutku yang lapar. Memang suaranya mirip, tapi ini lebih keras dan lebih lapar. 

Sampai suatu hari aku menyadari suara itu tak hanya muncul pagi buta, kadang juga terdengar malam-malam, atau siang bolong. Pokoknya suka-suka dia mau bunyi kapanpun. Dan usut-punya usut, sumber suara itu datangnya dari lahan kosong di samping rumah. Lebih tepatnya dari dalam bangun persegi yang mirip kandang sapi. Bukan mengejutkan jika suara itu memang suara sapi. Sungguh, untuk kepentingan postingan ini saja, kubuat sedikit lebih dramatis. Jadi setelah berhari hari aku mendengar suara itu tanpa melihat wujud keberadaan sosok sapi disana, aku asal meyakini saja, bahwa suara monster yang sering kudengar itu pasti milik si sapi.Tapi mana toh, sapinya ?

Sebagai alien megapolitan, aku tentu saja aneh jika tidak mengenali suara itu. Yaa anggaplah telingaku terlalu sering tercemar suara-suara klakson dan knalpot. Sampai suara sapi saja kuanggap monster..

Nyanyian Bocah

Katak celeng, katak puteh cak loncakan..
Katak ker-ker, katak biru rek lerekan..
Nyinyanyian sakanca’an..
Nyinyanyian cak loncakan..
Mari kita tepuk pramuka..

Itu bait terkhir dari lagu yang mampu kuhafal, diajarkan langsung oleh anak-anak SDN Rosong. Bagian yang paling kuingat dari hari itu adalah cara mereka bersabar mengajarkanku menghafal lagu itu kemudian bernyanyi bersama dan mengakhiri lagu dengan tepuk tangan.

Satu hal yang baru saja kusadari, ternyata ada seorang bocah yang terperangkap dalam tubuh seukuran kaiju ini. Aku tidak tahu, rasanya lucu jika diingat-ingat, aku bisa secepat itu berteman dengan anak kecil, seolah-olah aku adalah salah satu dari mereka. Sebaya. 

Cerita ini datang dari suatu pagi yang terencana, aku dan tim mendatangi sekolah dasar di satu desa dan akan mensosialisasikan program yang akan kami usung kepada adik-adik SD. Terkait tidak adanya listrik siang hari di pulau itu, berbekal genset, kami nekat menampilkan materi presentasi menggunakan proyektor. Tapi sebelum presentasi dimulai, aku turut serta dalam upacara bendera pagi itu. lucunya, jika seluruh siswa di sekolah ini dikumpulkan, jumlah mereka bahkan tidak lebih dari jumlah siswa dalam satu kelas sekolah dasarku dulu. Tapi semangat mereka, luar biasa mengagumkan. Itung-itung nostalgia, aku benar-benar menikmati jalannya upacara, tidak peduli terik matahari yang makin menyengat. Aku terus saja memperhatikan dengan seksama gerak-gerik mereka yang menjadi petugas upacara. Selesai upacara kami semua berkumpul pada satu kelas yang sudah di setting untuk presentasi, lalu setelah mendengar sambutan, tibalah gilaranku menyampaikan materi. Sorak sorai mereka membuatku tersenyum lebih lebar, terlebih saat kutanyai siapa yang mengingat namaku, satu kelas berteriak menyebutkan namaku dengan lantang. Mereka mengingatnya. Suasana menjadi lebih menyenangkan saat kudapati adik-adik ini gelak tertawa bahagia, mengagumi video penutup presentasi.  Usai presentasi, pada jeda waktu menunggu persiapan pelaksanaan program kami, kami sedikit bercanda dan aku meminta diajarkan beberapa kata dalam bahasa mereka. Dan jika didesak lebih bersemangat lagi, aku memelas agar diajarkan lagu yang tertulis di papan tulis mereka, seorang bocah perempuan malah menyuruhku mencatat liriknya. Kemudian kami lebur dalam suasana, seperti telah begitu lama saling mengenal. Setelah kegiatan berakhir, kukembalikan mereka ke dalam kelas lalu berpamitan kepada guru dan kepala sekolah.

Tebak, apa yang kudapati ? Mereka menyerbuku, menghujaniku dengan pertanyaan ‘kapan kembali lagi kesini, kak ?’ Demi Tuhan, sikap mereka manis sekali. Jika saja aku tidak dalam keadaan pilek, aku ingin sekali memberi peluk cium perpisahan, sayangnya tidak kulakukan, aku tidak mau menularkan virus pada bocah-bocah manis ini. 

Sekarang, setiap kali mengingat anak-anak SD, ada gelitik pertanyaan dalam hati tentang apakah mereka masih mengingatku, karena aku selalu saja mengingat mereka..

Klarifikasi dan Permohonan Maaf

Oke, hai!

Aku mau klarifikasi hilangnya kabar diriku selama seminggu. Aku tidak hilang di telan bumi, kok. Cuma terdampar di pulau nun jauh, dan tentu saja disana listrik dan jaringan untuk komunikasi sulit didapat. Mari kuperkenalkan, namanya pulau Sapudi, aku belum pernah mengukur dengan pasti luasnya, tapi kau butuh lebih dari tiga jam berkendara untuk mengitari pulau ini. Persis, untuk mendapatkan sinyal  pun, ada kilometer yang harus kau tempuh melawan teriknya matahari. 

Tapi ini pulau Sapudi, hanya jika kau yakin mau menjalani hidup disini, kau akan tanpa ragu melepas atribut duniawi. Semuanya, bahkan ponsel berbasis internet tak akan punya nyawa arti disini. Setidaknya itu yang terjadi padaku dalam kurun waktu seminggu. Tanpa kabar berita, tanpa koneksi internet. Terasing dari kehidupan megapolitanku yang riuh. Tanpa beban perasaan, akan ada yang mencariku

Lanjut, omong-omong cuaca, cuaca di tempat ini luar biasa cerah, bahkan seolah-olah mampu melunturkan kecerahan kulitku. Sekarang jelaskan, bagaimana kau akan menjalani hidup di pulau tanpa listrik, surat kabar, apalagi warnet, jika bukan dengan menjelajah sawah, menelusuri hutan atau main ke pantai. Bukan mengejutkan, jika sekembalinya dari pulau ini, aku menghitam.

Jadi, teman-teman.. aku mohon maaf karena selama semingu ini aku seperti hilang tanpa jejak. Bukan bermaksud lari dari tanggung jawabku. Tapi aku terikat urusan yang jauh lebih mendesak untuk mengabdi pada masyarakat pulau Sapudi, mengenal kehidupan yang tenang, lebih tentram, dan jauh dari bising dan huru-hara orang-orang kota. Dan, aku bisa ceritakan banyak hal yang membuatku tak henti mengucap syukur diberi kesempatan belajar dan mengabdi di tempat ini.

Nanti pasti akan kuceritakan !

Cerita Tentang Teh Hangat dan Susu Jahe

Segelas teh hangat dan susu jahe. Anggap saja dua jenis minuman itu adalah kita, yang terhidang di meja semesta malam itu. Sedari dingin m...