Aku : Jadi mama pernah hiking ?
Mama : Pernah, gunung Bromo, Indrokilo, Arjuno.
Aku : Kok aku nggak diajak ?
Mama : Ya kamu belum ada, itu dulu waktu mama sama papa masih pacaran.
Aku : Oh, kalo gitu besok-besok aku mau punya pacar yang hobi keluyuran ah.. biar aku bisa ikut.
Mama : Trus pasienmu mau ditaro mana ?
Aku : (melongo) Mama yakin aku jadi dokter ?
Mama : Ya kamu kan tukang ngeyel. Ngeyel terus mau jadi dokter.
Aku : Aku aja nggak yakin bisa jadi dokter.
Mama : Kemaren-kemaren kerjaanmu ngeyel ngomongin kedokteran, dikasi opsi lain nggak mau, padahal sama-sama kerja medis.
Aku : Ya bukan gitu. Aku kan ga suka pembukuan atau administrasi segala macem itu. Aku maunya jadi dokter, kalo nggak jadi dokter ya lebih baik aku nggak ada di medis sama sekali.
Mama : Pikiranmu dangkal. Kaku, kayak papamu.
Aku : ...
Harusnya aku bilang aja,
Kalo kedokteran yang bikin aku jatuh cinta sama medis.
Kedokteran yang bikin aku mau menghadapi kimia yang nggak kusukai.
Dan cuma kedokteran yang bikin aku ngambil resiko kuliah lama dan menjalani setiap hariku dengan mata pelajaran yang selama ini menyulitkanku.
Cuma kedokteran, yang bikin aku mengorbankan perasaanku dan mau bersahabat dengan hitungan yang membuat kepalaku berasap.
Harusnya aku jelasin itu sama mama.
Supaya mama mengerti,
Kalau bukan karna kedokteran,
Aku nggak akan sanggup hidup di dalam medis.
Aku nggak akan berani mengambil resiko dengan hitungan-hitungan yang jadi bagian dari kelemahanku.
Aku nggak akan punya semangat yang sama untuk menghadapi ketakutanku.
Itu alasannya..
Itu..
Aku nggak pandai berhitung..
Medis punya banyak perhitungan,
Seperti kimia, dan statistika kesehatan.
Dan aku nggak akan ambil resiko untuk alasan selain kedokteran.
Aku nggak berani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar