Tentangnya, Lelaki Tua yang Sedikit Berbicara..

Lucunya ditengah materi oceanografi siang ini aku membuat sebuah renungan singkat.
Tentang yang sebenarnya salah kunilai.

Tentang papa.
Yang entah kenapa tiba-tiba melintas dikepalaku saat aku menghitung berapa kali aku mengunjungi wilayah pantai yang berada dekat rumahku.
Kenyataannya aku bukan anak goa.
Aku pernah beberapa kali main ke pantai Kenjeran, untuk mencari kerang, bersama papa.

Itu cukup untuk membuktikan bahwa bapakku bukan orang yang demikian cuek.
Meskipun tidak terjadwal, diakhir pekan aku dan adik-adik seringkali diajak ke pantai untuk mencari kerang.
Kami berangkat dari jam tiga sampai pukul lima sore, dan kami tak pernah pulang dengan tangan kosong atau wajah muram.

Papaku, orang yang dengan bangga memperkenalkan alam ini kepada anak-anaknya
Dan mengajarkan kami jadi untuk bocah alam, seorang petualang.
Menunjukkan pada kami cara bertahan hidup di alam bebas, memperkenalkan jenis buah liar yang layak di makan, dan cara mendapatkan spesies laut yang enak dimakan.

Jika laut sedang pasang, kami minggir di bebatuan.
Diantara banyak sekali muda-mudi kasmaran diatas batuan pantai itu, ada sebuah keluarga yang piknik. Seorang bapak dengan dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang manis asyik menikmati hembus angin laut bersama sepiring lontong kupang, beberapa tusuk sate kerang dan segelas dingin teh manis, sambil berceritera tentang beberapa hal.
Ketika itu bapakku masihlah mahluk yang sangat romantis.

Sampai waktu membawa kami pada usia yang makin bertambah.
Aku bukan anak kecil yang bisa diajaknya mencari kerang lagi.
Sesekali jika ada waktu, aku menuntut lebih..
Sebuah liburan yang berkualitas.
Kuajukan syarat tempat, dan papa yang menentukan destinasinya.
Asalkan di alam, segar, hijau dan papaku tau betul seleraku.
Aku diajaknya ke Jolotundo.
Sebuah tempat yang mudah ditebak, tapi isi kepalaku yang tidak mudah ditebak.
Syukurlah waktu itu aku terhitung masih bocah, jadi tak usah malu untuk merambat naik ke tebing batuan di tempat itu.
Papa sama sekali tidak khawatir, tak ada yang bisa diragukan tentang bocah didikannya.
Sampai aku naik terlalu tinggi, barulah papaku berteriak memintaku untuk berhati-hati.
Berhenti sampai disitu, papaku makin sibuk.
Aku pun begitu.
Kami punya kesibukan masing-masing, dengan urusan yang berbeda, maka jarak itu mulai memperlihatkan eksistensinya.
Beberapakali rengekanku untuk berlibur hanya berakhir jadi janji-janji belaka.
Tak pernah ada realisasi, jadi aku berhenti menuntut.

Seiring dengan pertumbuhanku, aku bisa melihat pula sebuah tembok tumbuh bersamaan denganku.
Tembok itu yang membatasi aku dengan papa.
Kami mulai jarang bicara, apalagi bercerita.
Aku tidak lagi melingkarkan lenganku erat diperutnya ketika dibonceng.
Aku bukan anak kecil yang digendongnya ke atas kasur jika terlanjur tertidur di lantai ruang tamu.
Aku bukan anak kecil yang meminta jatah suplemen peninggi badan setiap satu bulan sekali.
Aku bukan anak kecil yang manja dipangkuannya bercerita tentang bagaimana mama berlaku tidak adil antara aku dengan abangku.

Papa bukan orang yang cuek.
Bukan.
Hanya saja waktu yang menciptakan hawa asing, memberikan batasan.
Aku yang makin dewasa, makin sibuk dengan duniaku.
Sementara papaku makin menua, makin diam, tak banyak yang bisa diajarkannya lagi.
Karena aku sudah jadi gadis, prioritasku berubah, jadi aku diberinya jarak untuk tumbuh.
Mungkin pikirnya, aku akan segera menyimpan banyak kosmetik, belajar memadu padankan baju, dan mulai memenuhi halaman buku diari yang pernah diberinya untukku dengan tulisan-tulisan tentang percintaan remaja.
Papaku terlalu berusaha memberiku segala yang kubutuh
Tapi tidak pernah bertanya tentang yang sebenar-benarnya jadi kebutuhanku.
Ya, papa melewatkan bagian itu.
Melewatkan kenyataan bahwa bocah perempuannya, masihlah seorang bocah.

Jadi, pada satu waktu dalam setahun terakhir, saat kami sekeluarga pulang dari berlibur (orientasi berlibur kami bergeser dari petualangan menjadi acara menginap di suatu tempat dilokasi wisata) kami menyempatkan berbelok menuju sebuah wisata alam. Sebut saja Goa Sigolo-golo, yang untuk mencapainya kami perlu naik dengan cara root climbing
Sesampainya disana, karena medan yang berat, mama menolak untuk meneruskan perjalanan, jadilah aku, dua adik lelakiku dan papa yang meneruskan petualangan.
Kami memanjat sebuah tebing yang tegak lurus, dibantu akar-akaran besar aku memanjat sampai ke atas.
Singkatnya aku berhasil sampai ke atas, bapak-bapak yang berjaga di sisi tebing itu memuji kemampuanku untuk skala seorang perempuan.
Aku bisa melihat wajah papaku, seolah terlihat lega
Ada kepuasan karena berhasil menularkan sikap petualang itu kepada anak-anaknya.
Bocah perempuannya tumbuh dengan baik, lebih dari ekspektasinya.
Kabar baiknya, perempuan itu bukan bocah manja yang cuma tau mall dan pusat perbelanjaan. Bukan remaja perempuan yang jijik terhadap kotor, takut kuteksnya rusak, atau bedaknya luntur.
Wajah tua itu tak bisa menyembunyikan raut bangga.

Sama bangganya denganku,
Seandainya papa tau, betapa yang kuinginkan dari papa hanyalah waktu yang lalu saat papa senang hati memperkenalkan semesta ini kepadaku.
Bukan semua pemenuhan kebutuhan yang dibarengi wajah lelah papa.
Aku bukan debt collector.
Aku mau kita berlibur, meneruskan hobi kita yang sama.
Mari menghabiskan waktu untuk napak tilas!


 I smurf you.. Dad !





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerita Tentang Teh Hangat dan Susu Jahe

Segelas teh hangat dan susu jahe. Anggap saja dua jenis minuman itu adalah kita, yang terhidang di meja semesta malam itu. Sedari dingin m...