Tentangnya, Lelaki Tua yang Sedikit Berbicara..
Tentang yang sebenarnya salah kunilai.
Tentang papa.
Yang entah kenapa tiba-tiba melintas dikepalaku saat aku menghitung berapa kali aku mengunjungi wilayah pantai yang berada dekat rumahku.
Kenyataannya aku bukan anak goa.
Aku pernah beberapa kali main ke pantai Kenjeran, untuk mencari kerang, bersama papa.
Itu cukup untuk membuktikan bahwa bapakku bukan orang yang demikian cuek.
Meskipun tidak terjadwal, diakhir pekan aku dan adik-adik seringkali diajak ke pantai untuk mencari kerang.
Kami berangkat dari jam tiga sampai pukul lima sore, dan kami tak pernah pulang dengan tangan kosong atau wajah muram.
Papaku, orang yang dengan bangga memperkenalkan alam ini kepada anak-anaknya
Dan mengajarkan kami jadi untuk bocah alam, seorang petualang.
Menunjukkan pada kami cara bertahan hidup di alam bebas, memperkenalkan jenis buah liar yang layak di makan, dan cara mendapatkan spesies laut yang enak dimakan.
Jika laut sedang pasang, kami minggir di bebatuan.
Diantara banyak sekali muda-mudi kasmaran diatas batuan pantai itu, ada sebuah keluarga yang piknik. Seorang bapak dengan dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang manis asyik menikmati hembus angin laut bersama sepiring lontong kupang, beberapa tusuk sate kerang dan segelas dingin teh manis, sambil berceritera tentang beberapa hal.
Ketika itu bapakku masihlah mahluk yang sangat romantis.
Sampai waktu membawa kami pada usia yang makin bertambah.
Aku bukan anak kecil yang bisa diajaknya mencari kerang lagi.
Sesekali jika ada waktu, aku menuntut lebih..
Sebuah liburan yang berkualitas.
Kuajukan syarat tempat, dan papa yang menentukan destinasinya.
Asalkan di alam, segar, hijau dan papaku tau betul seleraku.
Aku diajaknya ke Jolotundo.
Sebuah tempat yang mudah ditebak, tapi isi kepalaku yang tidak mudah ditebak.
Syukurlah waktu itu aku terhitung masih bocah, jadi tak usah malu untuk merambat naik ke tebing batuan di tempat itu.
Papa sama sekali tidak khawatir, tak ada yang bisa diragukan tentang bocah didikannya.
Sampai aku naik terlalu tinggi, barulah papaku berteriak memintaku untuk berhati-hati.
Berhenti sampai disitu, papaku makin sibuk.
Aku pun begitu.
Kami punya kesibukan masing-masing, dengan urusan yang berbeda, maka jarak itu mulai memperlihatkan eksistensinya.
Beberapakali rengekanku untuk berlibur hanya berakhir jadi janji-janji belaka.
Tak pernah ada realisasi, jadi aku berhenti menuntut.
Seiring dengan pertumbuhanku, aku bisa melihat pula sebuah tembok tumbuh bersamaan denganku.
Tembok itu yang membatasi aku dengan papa.
Kami mulai jarang bicara, apalagi bercerita.
Aku tidak lagi melingkarkan lenganku erat diperutnya ketika dibonceng.
Aku bukan anak kecil yang digendongnya ke atas kasur jika terlanjur tertidur di lantai ruang tamu.
Aku bukan anak kecil yang meminta jatah suplemen peninggi badan setiap satu bulan sekali.
Aku bukan anak kecil yang manja dipangkuannya bercerita tentang bagaimana mama berlaku tidak adil antara aku dengan abangku.
Papa bukan orang yang cuek.
Bukan.
Hanya saja waktu yang menciptakan hawa asing, memberikan batasan.
Aku yang makin dewasa, makin sibuk dengan duniaku.
Sementara papaku makin menua, makin diam, tak banyak yang bisa diajarkannya lagi.
Karena aku sudah jadi gadis, prioritasku berubah, jadi aku diberinya jarak untuk tumbuh.
Mungkin pikirnya, aku akan segera menyimpan banyak kosmetik, belajar memadu padankan baju, dan mulai memenuhi halaman buku diari yang pernah diberinya untukku dengan tulisan-tulisan tentang percintaan remaja.
Papaku terlalu berusaha memberiku segala yang kubutuh
Tapi tidak pernah bertanya tentang yang sebenar-benarnya jadi kebutuhanku.
Ya, papa melewatkan bagian itu.
Melewatkan kenyataan bahwa bocah perempuannya, masihlah seorang bocah.
Jadi, pada satu waktu dalam setahun terakhir, saat kami sekeluarga pulang dari berlibur (orientasi berlibur kami bergeser dari petualangan menjadi acara menginap di suatu tempat dilokasi wisata) kami menyempatkan berbelok menuju sebuah wisata alam. Sebut saja Goa Sigolo-golo, yang untuk mencapainya kami perlu naik dengan cara root climbing
Sesampainya disana, karena medan yang berat, mama menolak untuk meneruskan perjalanan, jadilah aku, dua adik lelakiku dan papa yang meneruskan petualangan.
Kami memanjat sebuah tebing yang tegak lurus, dibantu akar-akaran besar aku memanjat sampai ke atas.
Singkatnya aku berhasil sampai ke atas, bapak-bapak yang berjaga di sisi tebing itu memuji kemampuanku untuk skala seorang perempuan.
Aku bisa melihat wajah papaku, seolah terlihat lega
Ada kepuasan karena berhasil menularkan sikap petualang itu kepada anak-anaknya.
Bocah perempuannya tumbuh dengan baik, lebih dari ekspektasinya.
Kabar baiknya, perempuan itu bukan bocah manja yang cuma tau mall dan pusat perbelanjaan. Bukan remaja perempuan yang jijik terhadap kotor, takut kuteksnya rusak, atau bedaknya luntur.
Wajah tua itu tak bisa menyembunyikan raut bangga.
Sama bangganya denganku,
Seandainya papa tau, betapa yang kuinginkan dari papa hanyalah waktu yang lalu saat papa senang hati memperkenalkan semesta ini kepadaku.
Bukan semua pemenuhan kebutuhan yang dibarengi wajah lelah papa.
Aku bukan debt collector.
Aku mau kita berlibur, meneruskan hobi kita yang sama.
Mari menghabiskan waktu untuk napak tilas!
I smurf you.. Dad !
That Moment..
Duh ya penting banget curi waktu buat bikin blog post diantara deadline laporan, dan tugas lainnya.
Hidup tuh gitu, makin waktu dikejar, makin kita jauh ditinggal.
Mau sampai lebaran ubur-ubur pun, waktu akan tetap jauh di depan kita.
Jangan selalu berlari.
Ada kalanya kamu harus menepi.
Ambillah sedikit saja waktu bersantai, dan amati bagaimana hidup ini membuatmu seolah 'harus' berlari.
Jangan kayak aku yang ga tau bagaimana harus menepi..
Aku menghabiskan akhir pekanku ini dengan sederet kegiatan yang yaa lumayan menguras tenaga.
Mulai dari jumat, sejak malam aku merelakan waktuku untuk mengerjakan laporan sampai pagi.
Aku mencoba kopi untuk menjagaku tetap melek, tapi ternyata kopinya menyakiti lambungku. Perih banget.
Pagi hari jumat, kuliah 06.00-07.40, kemudian kembali ke kos untuk mencuci baju, lalu kembali lagi ke fakultas untuk menyiapkan acara yang akan digelar sore hari itu.
Pagi hari jumat hingga pagi hari sabtu, aku sibuk, dan kepala bagian belakangku luar biasa nyeri dibuatnya. Ditambah lagi malam hari itu, karena tidak bisa membelah diri, aku mangkir dari tugas panitia karena ada janji asistensi.
Capek ? Yaiyalaaahh..
Singkatnya, jam setengah dua pagi aku baru sampai di kos dan bersiap untuk mengerjakan laporan, aku tidak berniat tidur karena pukul 6 aku sudah harus berada di lobby EM UB untuk berangkat diklat ke Batu.
Well, walaupun akhirnya sempat ketiduran, intinya berangkatlah hari itu aku ke Batu.
Susunan acara diklatnya lumayan padat dan berhasil bikin migrenku kumat lagi, tapi tak apalah..
Somehow, aku bahagia..
Tapi ya edun pisan..
Pulang dari diklat hari minggu jam 2 siang, aku mandi, sholat trus buka laptop mau ngerjain laporan.
Eh, malah ketiduran..
Dari jam SETENGAH 3 SORE sampai jam 3 PAGI baru bangun.
Gile, aku aja ga percaya aku bisa tidur demikian lama.
Tubuhku menuntut balas atas sekian banyak hari yang kulewati dengan minim tidur.
Bangunnya tetep ga ikhlas, loh..
Tapi good thing-nya, moodku membaik..
Masa bodo lah dengan uang abis..
Masa bodo lah walaupun badan serasa remuk redam..
Masa bodo juga kalau laporan banyak..
Kalau mood baik, semua toh bakal lancar lancar aja..
Ohiya mau pamer foto nih..
Soal event yang jumat itu di skip dulu aja lah..
Maklum aku kan panitia tsibuks, jadi ga ada waktu buat foto.
Cuma sempet foto pas diklat aja, itu pun foto hasil mengais dari henpon temen.
![]() |
| udah keliatan kurus, belum ? |
![]() |
| grup paling gendeng kesayangannya akoooh :D |
![]() |
| The Best Group of IOP XXII ! ahay! |
![]() |
| kata temenku, aku jelek kalau ga pakai kacamata. |
Itu semua temen-temenku di IAAS (International Assosiation of Student in Agricultural and Related Science)
Dan pada event IOP ( IAAS Orientation Program ) kemarin aku jadi ibu CO (baca: ibu negara)
Jadi CO itu pengorbanan, sungguh..
Sebagai anak yang hemat sms, hemat pulsa.. tiba-tiba punya tanggung jawab jarkomin info ke temen sekelompok itu semacam pengorbanan besar sih..
Jarkom kumpul latihan, jarkom batal kumpul, balesin satu persatu kalau masih ada juga yang nanya..
Masih juga ada yang gamau konfirmasi jarkom, bikin akunya kuatir kalau jarkomanku ga nyampe..
Masih juga bagi waktu buat ngatur jadwal latihan, garap laporan, proposal kegiatan juga, rapat panitia juga..
Yaelah.. kalau aja mereka tau betapa tidak mudah menjadi CO..
Mereka sih enak, tinggal terima beres, tau tau dapet jarkom, kalau sibuk tinggal cuekin aja gausah bales jarkom.
Udah gulung tikar habis pulsa, selesai acara, aku terlupakan..
Aku ikhlas, teman-teman..
Setidaknya, aku pulang dengan perasaan haru, karena kita dapet award sebagai BEST GROUP OF IOP XXII yuhuuu !!!
Sadarpun seru-seruan sama mereka jadi priceless banget..
Karena akhir pekanku bisa lebih buruk lagi dengan laporan dan laporan seandainya aku tidak bergabung dengan IAAS, dan tidak bertemu grup sableng ini x)))
Ohiya, satu lagi..
Soal temenku bilang, kalau aku jelek ga pakai kacamata.
Aku nebaknya sih.. mereka lebih suka ngeliat aku pake kacamata soalnya itu bikin aku keliatan rada pinter dikiit gitu. Keliatan rada serius mukanya.
Atuhlah gitu, percaya aja kalian mah..
Toh ya kalian bakalan lebih sering liat aku pakai kacamata.
Udahlah kacamata mah kebutuhan, bukan cuma buat gaya..
Siapa lah aku jika tanpa kacamata..
Aku cuma remah-remah nastar..
~~~
Masih lucu-lucunya cari kegiatan biar ga dibilang mahasiswa kupu-kupu.
Giliran udah banyak kegiatan, dapet beban panitia dobel, eh malah sakit..
Pada akhirnya aku melihat satu persatu rekanku tumbang karena tugas yang dibebankan kepada mereka.
Lucunya, aku ingat bagaimana aku pernah ada di posisi itu, ya, waktu aku sakit.
Sempat terbersit iri diantara perasaan iba, yaa setidaknya sakit bisa membuat mereka melepas beban dipundak sejenak.
Sementara aku ? Aku tidak melepas bebanku. Aku tidak bisa.
Ntah apakah benar aku sekuat itu, atau kebodohanku bertindak sok kuat.
Itu masih kemarin, sekarang keadaanku berangsur-angsur pulih.
Setengah bersyukur karena aku berhasil melewatinya, separuhnya menyesal.
Ya, ternyata aku seegois itu.
Setiap orang berhak sakit, dan mendapat pemakluman untuk libur.
Termasuk aku.
Yang seharusnya kulakukan ketika sakit kemarin adalah mengambil jeda sejenak, membagi tugas, dan mengatakan " aku lagi sakit " kemudian semua orang akan maklum.
Tapi tidak kulakukan.
Sekali lagi, aku bukan wonderwoman.
Aku nggak bisa terus berlari tanpa menepi sejenak untuk mengatur napas.
Sebagai anak yang jauh dari rumah, tidak akan ada yang mengingatkanku untuk beristirahat.
Jadi aku harus buat self reminder agar aku tidak lagi egois.
Tidak ada lagi kata diet, aku bahkan sudah terlalu sering mengabaikan makan.
Masa bodo lah dengan berat badan, toh semua celana jeansku sudah kedodoran parah.
Dan tidak boleh lagi memaksa diri untuk terus kuat, bahkan ketika aku udah capekku udah mulai mengundang tangis. Ini udah parah.
Aku nggak akan nangis tanpa sebab, kalau aku nangis cuma ada 2 alasan, kesakitan atau karena orang tua.
Ini loh udah migren, perut perih, nyeri sebadan, what's next ?
Lil note to my self :
Kalau sakit, yo sakit aja.
Gausah sok kuat.
Terlalu banyak orang yang ga peduli soal keadaanmu, jadi berlakulah adil!
Kamu adalah satu-satunya orang yang harus peduli pada dirimu sendiri, yu!
Menepilah !
Aku nggak tau mau bilang apa.
Belakangan ini kepalaku penuh.
Penuh sekali dengan keharusan, sampai aku tak punya ruang untuk diriku sendiri.
Waktu aku migren hebat karena merasa kalah dengan waktu, aku diam saja, mengatupkan telapak tangan di muka.
Kemudian hening.
Aku cuma mendengar bisik pelan dari dalam relungku..
" Menepilah, kamu sudah kelelahan.. "
Tapi kuabaikan.
Lalu aku nangis.
Gerimis sore ini..
Notice dari temanku, tiba-tiba saja, saat aku baru sampai di muka pintu usai berpindah ruang kuliah.
Aku masih lesu karena habis dibantai pada presentasiku beberapa menit yang lalu.
Aku mengangkat alis dan bertanya 'apa' tapi dia tersenyum singkat lalu pergi.
Ternyata di luar hujan.
Dia tau aku suka hujan.
Aku yang baru tau kalau dia juga memperhatikan hal sepele semacam itu.
Bohong, kalau aku tidak tersenyum.
Adalah manis, jika seorang lelaki mengetahui sesuatu yang belum pernah kamu ceritakan.
Entah kebetulan saja, atau memang dia memperhatikanmu sejauh itu.
Yang jelas notice itu, seolah memberitahumu.. dia tau sesuatu yang tidak semua orang tau.
Mungkin dia memang sepeduli itu atas apa yang kamu suka.
Atau sederhananya dia memang sebaik itu.
.
.
.
.
.
.
Pada semua orang.
Ntah.
Sore ini, dengan beban berat di punggung dan sekali lagi nyeri di kepala.
Aku berjalan keluar dari laboratorium menuju rumah kos.
Aku berjalan dengan ritme langkah pelan, bahkan cenderung diperlambat.
Ntahlah, kali ini aku sedang tidak ingin berlari.
Jadi aku berjalan semalasnya.
Sesampainya.
Seenaknya.
Langit, vertikal diatasku, ada semburat oranye yang anggun.
Mataku masih mengagumi senja, sementara langkahku merambat maju.
Percayalah, dalam situasi seteduh ini.. aku tetap ingin menangis.
Pikirku untuk tidur saja, lalu bangun dan menyadari aku baru saja mimpi buruk.
Aku kelelahan, semesta.
Terimakasih telah menghidangkan langit senja yang cantik.
Sebenarnya aku lebih suka jika kamu memelukku saja.
Aku tidak ingin dihibur, hanya sedikit butuh dikuatkan.
Ya, aku memang selemah itu..
Semacam Konspirasi..
Saat aku sibuk berkutat dengan power point yang yaa lumayan rumit untuk dipahami.
Sesekali membalas chatting dari seorang kawan, menukar cerita.
Sama-sama rindu, tapi dibatasi waktu.
Lalu aku menuju kamar mandi, hendak cuci muka dan buang air kecil, karena sejak sampai di kos, usai rapat, aku belum juga mencuci mukaku.
Kau tau apa yang terjadi berikutnya ?
.
.
Tiba-tiba gelap.
Tengah malam dan aku sedang dalam kamar mandi sementara lampu mati.
Syukurnya, aku tidak berteriak.
Atau jika kulakukan itu, aku pasti akan di usir dari kosan.
Aku berusaha keluar dari kamar mandi dengan meraba-raba, karena tidak ada seberkas cahaya pun yang tertangkap retinaku. Bahkan cahaya bulan tak juga menerobos masuk ke tempat ini.
Aku berjalan keluar dari kamar mandi menuju lorong sambil tetap meraba, juga sedikit berharap dalam usahaku meraba, tidak ada sosok mengerikan yang tiba-tiba muncul dihadapanku.
Harapan yang konyol, tapi cukup realistis untuk ukuran anak yang tidak bisa melihat apapun di tengah malam itu.
Aku masuk kamar, yang semoga benar itu kamarku. Aku mencoba mengenali kamarku dengan mencari sandal di depan kamar, sandal temanku, aku hapal betul wujudnya.
Setelah yakin aku sudah di depan pintu yang benar, aku masuk dan mencari-cari lemari, aku ingat beberapa hari yang lalu orang tuaku datang dan membawakan aku senter. Dan senter itu kuletakkan di lemari.
Pada detik itu, aku hanya bersyukur, orang tuaku demikian menyayangiku dengan merelakan satu-satunya senter yang ada di rumah untuk diberikan padaku, jaga-jaga kalau mati lampu, kata Mama.
Dengan berbekal senter, aku kembali ke kamar mandi dan menuntaskan ritual cuci muka.
Kemudian kembali, dan berbaring di tempat tidur.
Aku melirik ponselku, ternyata wifi nya juga mati.
Seketika aku teringat suatu waktu ibuku menelpon di sore hari, kala listrik mati.
Dalam telepon, aku mengeluhkan bosan karena listrik mati sejak satu jam yang lalu dan aku tidak bisa melanjutkan belajar.
Ibuku dengan santainya menjawab " Itu artinya, kamu disuruh istirahat dulu.. "
Aku mengerenyitkan dahi. Mencoba memahami.
Mungkin ada benarnya juga.
Walaupun, jujur saja, sulit sekali menerima maksud dari 'disuruh istirahat'.
Tubuhku terbaring diatas kasur, kepala sudah menempel di bantal, tapi isi kepalaku bekerja keras, menyusun rencana, memikirkan banyak tugas yang belum kuselesaikan, tanggung jawab panitia, keharusan mengikuti diklat, praktikum.
Beberapa diantaranya bahkan berlangsung bersamaan dalam bulan ini, aku mengurut dahi merasakan peningnya membagi peran.
Waktu mengejarku, dan semesta tau pun aku butuh usaha ekstra untuk bertepatan dengan waktu.
Aku sendiri merasa tak kurang beristirahat.
Kenapa toh aku harus disuruh istirahat dengan cara begini, aku pun pasti tidur jika sudah lelah..
.
.
Sampai aku sadar, aku adalah mahluk Tuhan yang paling suka ngeyel.
Satu lagi, aku juga tidak pandai mengatur waktu.
Ya, andai saja malam ini tidak mati lampu, pasti aku akan memaksa diri untuk belajar semalam suntuk.
Membaca halaman-halaman power point dengan mata yang sudah memburam, tapi memaksa menggunakan kacamata untuk memperjelas penglihatan .
Selain ngeyel, ternyata aku juga berlaku tidak adil pada tubuh ini
Sesungguhnya, mati lampu malam ini adalah sebenar-benarnya konspirasi.
Kau tau..
Rasanya bukan waktu yang mengejar kita
Tapi kita yang merangkak, menyeret langkah, berjalan, berlari menggapai punggung sang waktu.
Kita tetap bisa istirahat, kalau mau.
Tapi karena terlalu takut tertinggal jauh, jadi kita mengabaikan istirahat itu.
Begitupun denganku.
Aku mungkin berlebihan.
Tapi sungguhpun, aku menikmati setiap lelah yang kuperoleh dari banyak hal yang sudah kukerjakan.
Seperti yang kuceritakan dulu, aku lebih baik sakit kepala karena terlalu banyak tugas dari pada sakit kepala karena tidak tau harus berbuat apa.. saking nganggurnya.
Dan andai suatu hari aku mengeluh kelelahan dengan semua aktivitasku, aku sudah tau, ini hidup yang kupilih sejak awal.
Menjadi mahasiswa, sibuk, dan lelah bukan masalah yang berarti.
Aku bukan satu-satunya orang yang paling menderita di muka bumi ini.
Lelahku cuma sebagian kecil jika dibandingkan dengan orang lain yang lebih sibuk, lebih banyak mengambil resiko dengan banyak kegiatan, dan lebih berprestasi dari aku.
Jadi, karena aku hanya mengambil lelah pada porsiku, aku tidak boleh mengeluh.
Hei, kita takkan benar-benar lelah sampai kehabisan napas.
Semesta selalu punya rencana ajaib untuk memaksa kita beristirahat, kan ?
Bahkan jika kita berpikir, ini bukan saat yang tepat untuk bersantai.
Hehe :D
Early November!
Hai !
Selamat pagi untuk kalian yang punya rencana jalan-jalan sabtu ini.
Juga untuk kalian yang pagi ini terbangun di rumah orang tua, dengan segelas susu dan sarapan yang siap tersedia di meja makan.
Salam dariku, yang baru saja terbangun dengan ngilu sebadan.
Aku nggak pernah berpikir bahwa hidupku beraat banget.
Ntahlah, mungkin karena sebenarnya aku ikhlas menjalaninya.
Tapi sungguh.. tiap kali aku tertidur karena lelah atau perih di perut, lalu bangun dengan sakit kepala dan ngilu sebadan, aku merasa telah berlaku tidak adil pada tubuhku.
Dan sebagai catatan saja, akhir pekan ini aku sudah punya setumpuk must to do list yang harus diselesaikan.
Aku masih berharap aku bisa membelah diri, agar semua selesai bersamaan tanpa harus membuatku berlarian dari satu tempat ke tempat yang lain.
Aku tidak mengeluhkan hari liburku yang terenggut rapat dan tugas lain-lain.
Setidaknya ini lebih baik dari pada merasa kesepian di kos tanpa tau harus berbuat apa.
Dan lebih hebatnya, efek ngilu sebadan ini bikin aku nggak bisa mikir tentang apa yang sebenarnya kumau.
Aku udah nggak terlalu berharap untuk diajak berlibur, karena setiap waktu yang ada kini berkejaran dengan daya tahan tubuh.
Semakin banyak hal yang harus dikerjakan sesuai skala prioritas.
Andaipun aku menyelipkan liburan diantara rutinitasku, aku khawatir akan kelelahan lalu sakit di hari yang seharusnya aku melakukan banyak hal penting.
Tapii jauuuh sekali, di lubuk hatiku yang paling dalam, aku menginginkan piknik.
Well ya..
Mungkin tidur akan jadi penebus lelah setelah seminggu menyiksa raga.
Tapi sebenarnya aku tidak ingin terlalu banyak tidur, karena bangun tidur dengan kepala pusing dan ngilu sebadan bukan bagian favoritku.
Aku nggak tau mau apa..
Aku cuma tau, aku nggak mau nganggur.
Ada bagian otakku yang pernah migren hebat karena trauma dengan libur lama yang kuanggap bisa membuatku mati kebosanan.
Satu-satunya hal yang bisa menebus lelahku, adalah bertemu keluarga
Saat itulah aku berhenti berpikir tentang apa yang harus kulakukan.
Mendengar ibuku ngomel agar aku bisa menyeimbangkan hidup, juga mengatur waktu belajar dan istirahat dengan porsi yang pas.
Mendengar celoteh adikku tentang mainan barunya, tugas sekolahnya, dan lain-lain.
Melihat ayahku santai, walaupun tidak berbicara apapun, aku bisa melihat wajah lega disetiap kabar baik yang kubawa pulang.
Sesederhana itu, tapi masih terlalu sulit mengatur waktu untuk sebuah kepulangan.
Setidaknya untuk November ini, waktu akan terasa seperti merangkak pelan, dan hari-hari melelahkan akan berlangsung lama.
Sudahlah, sepertinya aku perlu sedikit lagi istirahat..
Sekedar meyakinkan, aku akan baik-baik saja.
Cerita Tentang Teh Hangat dan Susu Jahe
Segelas teh hangat dan susu jahe. Anggap saja dua jenis minuman itu adalah kita, yang terhidang di meja semesta malam itu. Sedari dingin m...
-
Dimotori dengan pengalaman pencarian jodoh yang cukup lama, aku akan menulis nasehat ini untuk adik-adikku yang akan menikah.Terlalu muda un...
-
Ada yang lebih sakit dari sekadar perih Ada yang lebih cacat dari sekadar parut Ada yang lebih ingin mati saja daripada menderita Kita meras...





















