Satu hari di bulan Juni.

Niatnya ke RSUD mau bikin surat keterangan sehat malah dirujuk ke poli penyakit dalam karena indikasi patah hati.
*lebay..

Oke deh, seriusan.
Aku mah anaknya kampungan, tapi sehat.
Jadi alhamdulillah dalam sejarah hidupku, belum sekalipun aku masuk rumah sakit.
Paling mentok ya ke puskesmas, itu pun imunisasi waktu bayi.
Tapi justru karna sehat itulah yang jadi bikin aku penasaran banget pengen masuk rumah sakit, bahkan sampai berharap sakit parah biar bisa rawat inap.
Bego banget ya ? Ah tapi itu dulu.. dulu banget waktu SD.
Nggak tau sih, apanya yang menarik dari rumah sakit sampai segitu pengennya aku ada didalamnya.
Itukan cuma bangunan gede yang didalamnya banyak orang sakit, virus infeksius banyak berterbangan mengancam siapapun yang sistem imunnya sedang tidak baik. Gitu doang..
Apanya yang asik ?

Beranjak gede, aku mulai mikir alternatif lain supaya bisa jadi bagian dari rumah sakit.
Bukan, aku nggak bercita-cita jadi pispot atau tiang infus supaya bisa tinggal di rumah sakit.
Aku mengubah cita-citaku jadi dokter.
Sejak SMP aku udah iseng baca-baca novel yang berbau medis, sampai masuk SMA aku mengubah aliranku, mengganti semua bahan bacaan jadi serba medis.
Aku selalu berusaha menambah pengetahuanku tentang sekolah kedokteran, tentang berapa lama dan berapa berat beban moral yang ditanggung dokter dibalik gelarnya.
Tapi makin kesini, aku makin fanatik, aku makin dahaga akan informasi-informasi tentang dunia kesehatan.
Sampai aku menyimpulkan, aku sudah jatuh cinta pada medis.
Tapi kenapa ? Bagaimana bisa ? Ya, cinta ga pernah punya alasan kan..

Dan pagi ini waktu aku masuk RSUD dr. M. Soewandi.
Aku merasakan sesuatu yang nyess banget di hati.
Bukan, bukan perasaan adem sejuk gitu.
Tapi perasaan kayak kena knalpot panas.
Nyess-nya kerasa sakit.
Sekilas aja ngeliat beberapa rekam medis sibuk kerja, aku nggak kebayang aja sih gimana sakitnya kalo aku cuma duduk disana ngeliat dokter menjalankan tugasnya, dan bukan aku yang mengobati, aku hanya mencatat.
Itu pasti sakitnya, kayak tau pacarmu itu ternyata saudara tirimu, trus harus tinggal serumah pula, dia ada didepan matamu, tapi nggak bisa kamu miliki.
Sungguh pengandaian yang maha lebay..

Ah sudahlah, tapi karena emang aku udah bayangkan sakitnya, aku jadi punya prinsip..

" ...kalo aku nggak bisa jadi dokter, lebih baik aku sama sekali nggak ada di dunia medis..."

Aku udah nggak peduli lagi walaupun aku dibilang keras kepala.

Trus ya, kan ceritanya aku ga ambil pendidikan rekam medis nih..
Itu tuh tetep aja bukan saudara tiri, tapi mantan. Mantan cinta pertama. Duh..
Makin lama aku didalam sana, rasanya tuh makin ga karuan.
Bahagia, iya.
Deg-degan, iya.
Mules, iya.
Sedih iya.
Ikhlas, iya.
Pengen balik ke masa sebelum jadi mantan, iya bangett..

Move on hanya omong kosong,
Munafiklah aku, kalau ngaku ikhlas tanpa sedikitpun sisa kenangan yang masih menggelitik.
Tanpa sedikit saja harap agar bisa memutar waktu untuk memperbaiki keadaan.
Tanpa sedikitnya keinginan untuk kepo.
Ah, sedikit itu selalu ada.
Dan aku tidak harus menipu diri, bahwa perasaan itu masih pada tempatnya.
Sebaik apapun aku menata hati untuk berpindah, sebuah pertemuan saja bisa mengurai kembali yang sudah tertata.

Sektalah.. ojo salah fokus.
Kayaknya udah kejauhan analoginya.
Balik pada topik utama, semua andai-andai pada catatan ini, semua perasaan emosional ini merujuk pada medis. Bukan sosok anak manusia.

Yaudahlah, cerita desperatifnya.
Eneg juga kan bacanya ?
Btw, tadi yang meriksa ganteng loh..
Bikin gemes deh..
Hehe..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerita Tentang Teh Hangat dan Susu Jahe

Segelas teh hangat dan susu jahe. Anggap saja dua jenis minuman itu adalah kita, yang terhidang di meja semesta malam itu. Sedari dingin m...