Jarak.

" Sembilan delapan tujuh enam lima empat tiga dua satu.."

Saka melirik arloji di pergelangannya sembari menghitung mundur menjelang pergantian tahun, lalu matanya memejam, membuat pengharapan. Aku meliriknya sebentar kemudian sesuai kesepakatan, aku pun turut berdoa.

" Aku berdoa semoga Tuhan melipat jarak kita, Re.. " bisiknya dekat telingaku.

Aku melongo. Lebih tepatnya terkejut.

Malam menjadi semakin dingin. Dua tiga bintang yang tadi masih kulihat, sekarang tenggelam dalam letup kembang api yang seakan akan ingin meledakkan langit. Begitu riuh.

Aku merapatkan jaket parasutku. Tanganku semakin pucat karena kedinginan, tapi belum ingin beranjak karena aku merasa setiap detik pertemuanku dengan Saka, adalah hal yang layak untuk dirayakan. Aku hanya ingin lebih lama melihatnya sedekat ini, sebelum akhirnya dia kembali pergi. Kurasa ini tidak akan jadi berlebihan.

Aku menoleh kearahnya, melihatnya sibuk menatap langit. Lamunanku tiba-tiba melayang terbersit tentang jarak yang disebut-sebut Saka dalam doanya. Aku menunduk, sempat pula tertegun. Sebenarnya apa yang diminta Saka, adalah sesuatu yang sama juga kuharapkan.

Semoga Tuhan melipat jarak kita.

Aku tidak mampu berbahagia mendengar pengharapannya. Saka dan aku terpisah jarak, dan tanpa komitmen. Tak ada yang dijanjikan untuk kebersamaan. Aku tidak bisa berharap banyak. Kupikir akan lebih baik jika dia berdoa untuk dirinya sendiri, semoga dalam jarak itu, ada perempuan yang lebih dekat dengan lengannya untuk direngkuh. Aku berjanji untuk ikhlas. Karena lebih dari rentangan kilometer itu, ada yang lebih membuat Saka dan aku tidak mungkin bersatu.

Tidak akan mungkin.
Sebab kami memanggil nama Tuhan, dengan sebutan yang berbeda.
.
.
.
Sebab jarak terjauh kita, bukan dalam hitungan kilometer, tapi dalam perbedaan Tuhan yang kita yakini.

1 komentar:

Cerita Tentang Teh Hangat dan Susu Jahe

Segelas teh hangat dan susu jahe. Anggap saja dua jenis minuman itu adalah kita, yang terhidang di meja semesta malam itu. Sedari dingin m...