Tentang Perempuan yang Meninggalkan Rumah

Tentang perempuan yang meninggalkan rumah.

Aku duduk bersila di depan kardus cokelat yang berisi penuh pakaian, bertumpuk hingga menggunung keluar. Dahiku mengerut menyadari semua ini belum seluruhnya. Aku merunut semua kebutuhan anak perantauan, kurasa yang ada di hadapanku ini jauh sekali dari pernyataan sikap siap hidup merantau. Masih banyak celana panjang, jaket dan sepatu. Juga segala macam tetek bengek lainnya yang belum masuk perhitungan.

Aku : Koper aja lah ma..
Mama : bawa kardus itu lebih simpel. Kalau naik angkot bisa dipangku.
Aku : Tapi ini nggak cukup ma..
Mama : Bawa yang penting aja. Jangan semua dibawa.. kayak orang mau pindahan aja.

...

Tapi aku memang mau pindah, ma
Kalimat itu hampir meluncur dari mulutku, walaupun akhirnya kuurungkan.
Aku khawatir itu akan menyakiti hatinya.

Aku melipat kakiku di depan dada, menempelkan hidungku ke lutut. Mataku memaku pada kardus cokelat dengan baju yang menumpuk dua kali lebih tinggi dari kardus itu sendiri. Aku membayangkan benda lain yang belum kusiapkan untuk dikemas, mungkin akan jadi tiga atau empat kardus ditambah ransel penuh di punggung. Ngeriku membayangkan akan berjalan jauh dari muka gang menuju kosku yang lumayan jauh dengan bawaan sebanyak itu. Belum lagi dari rumah menuju jalan raya untuk mencari angkot. Lalu dari pemberhentian angkot menuju stasiun, stasiun menuju peron, lalu gerbong menuju gerbong. Ampun gusti, badanku bisa rontok.. ya untuk kondisi ini, agaknya koper terdengar seperti sebuah solusi buatku. Tinggal geret saja, tidak perlu angkat berat.

Aku berpikir kembali, tentang apa yang harus dibawa anak perempuan ketika meninggalkan rumah. Baju ? Celana ? Kerudung ? Setrika ? Sendal ? Alat sholat ? Sepatu ? Panci ? Piring ? Gelas ? Sendok ? Terlalu banyak. Padahal aku sudah cukup banyak mengalah untuk tidak membawa perabot yang bisa di beli di sana.. seperti bak cuci, hanger, sapu, detergen, sabun mandi, dan segala macam printilan anak kos. Aku bisa excited sekali menyiapkan kepindahanku, jika saja mama tidak ngomel mengomentari keribetanku mengemas barang.. ya, mama ahlinya mematahkan hatiku.

Tentang perempuan yang meninggalkan rumah.
Mungkin aku terlalu antusias dengan migrasi sederhanaku. Aku tidak banyak berpikir tentang perasaan orang-orang yang kutinggalkan disini, dan yaa aku tau mereka akan baik-baik saja tanpa aku. Yang sering kali kudengar, dengan atau tanpa kehadiranku tidak akan ada bedanya. Itu artinya, keberadaanku tak ada pengaruhnya buat mereka. Miris. Tapi kabar baiknya, tidak akan terlalu berat untuk melangkah pergi. Sementara masih begitu.

Setidaknya sampai aku menyadari mamaku makin posesif, dan sensitif terhadap persoalan kecil. Padahal beban itu aku yang bawa, tapi mama mengulik terus banyak barang yang kubawa. Seolah-olah salahku semua, banyak yang kubawa hanya akan semakin memperjelas adegan-kayak-orang-mau-minggat. Yang benar saja, aku ini mau pindah bukan sekedar numpang menginap.. kesimpulannya ternyata mama nggak pernah siap melepasku pergi.

Aku bisa ngerti. Belasan tahun aku dalam penjagaannya, bocah perempuan yang dibentuk sesuai inginnya. Dijaganya benar-benar dari pengaruh dunia luar. Sampai terasa hasilnya, duniaku sempit, temanku sedikit dan aku tidak terbiasa bergaul dengan keramaian. Hidupku sesederhana rumah menuju sekolah dan sekolah menuju rumah. Aku tidak hidup diluar itu. Kalian boleh tidak percaya, tapi aku tidak punya bakat apapun karena setiap gerakku dibatasi. Mama melakukan semua yang terbaik untukku sampai aku tidak tau bagaimana harus berbuat yang terbaik dengan tanganku sendiri..

Aku tidak pernah menolak apapun permintaan mama, kecuali satu hal. Menetap di Surabaya. Aku bisa maklum kalau mamaku muring dengan pendirianku yang super ngeyel untuk meninggalkan rumah. Segala macam kemungkinan berubah jadi tuduhan. Mama kehilangan bocah kecil yang bisa diaturnya, aku disangka ingin cari bebas. Dibilang bosan jadi anak pingit. Padahal bukan itu maksudku, sayangnya kami tidak sepaham jadi sulit sekali untuk mama menerima alasan dan mengartikan maksudku. Ya, seandainya saja mama tau yang kumau..

Bukan kebebasan yang kucari. Kalau memang aku bisa bebas, lantas apa ? Itu bagian dari kehidupan. Tapi bukan itu tujuannya.. aku cuma mau melakukan sesuatu yang berguna untuk diriku sendiri. Aku bukan anak perempuan satu-satunya yang manja dan tidak bisa apa-apa. Aku mau menggali bakat mandiri, yang kuyakini ada tapi terpendam keragu-raguan mama.

Hai, ma !
Kalau delapan belas tahun belum cukup untuk membuat mama yakin aku sudah bisa hidup mandiri, berilah 4 tahun saja untukku menguji semua yang mama ajarkan kepadaku. Jangan terlalu khawatir, aku sudah besar, sudah bisa jaga diri.. dan tolong jangan perlakukan aku layaknya bocah kemudian meremehkanku, yaa.. selayaknya bocah. Kalau begitu terus lalu kapan aku boleh jadi dewasa dan dianggap sudah cukup dewasa

Peluk cium,
Bocah perempuanmu yang akan meninggalkan rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerita Tentang Teh Hangat dan Susu Jahe

Segelas teh hangat dan susu jahe. Anggap saja dua jenis minuman itu adalah kita, yang terhidang di meja semesta malam itu. Sedari dingin m...