" Kenapa nggak di minum ?"
" Aku nggak minum kopi. Kamu yang suka kopi, bukan aku "
" Bukannya kamu selalu minum kopi kalau bersamaku ?"
" Itu dulu, waktu aku untuk kamu. Tapi setelah kamu pergi, ternyata aku nggak bisa minum kopi sendirian. Terlalu pekat, terlalu pahit. Jadi aku berhenti meminumnya. "
" Maaf karena aku harus menarik diri beberapa saat, Re.. "
" Gapapa, aku nggak menginginkan kamu kembali, seperti aku juga tidak menginginkan kopi itu untukku lagi. "
Aku merapatkan mantelku, malam makin larut dan udara makin meniupkan hawa beku diantara aku dengannya. Ini kali ketiga Saka mengajakku duduk di angkringan sederhana di jantung kota Jogja. Pertemuan ketiga setelah jeda yang teramat lama hingga sadar rongga hatiku kian berdebu. Seperti biasa, dia selalu memesankan segelas kopi yang sama dengan yang diminumnya untukku, bedanya kali ini aku menolak untuk meminumnya. Dia hanya menatapku sebentar lalu menghela napas dalam. Suasana berubah kaku
.
Bahuku semakin berat memandang lelaki yang duduk di samping kananku. Aku tidak percaya bisa berkata sedingin itu padanya setelah ajakannya ngopi bersama. Setelah sewindu rinduku tak berujung temu. Setelah semua tanda tanya dan sosoknya yang kurindukan itu menjelma jadi bunga tidur. Sulit dipercaya, setelah semua kecewa dan rasa takut sendirian karena dia, aku menolak untuk mencair, aku sudah bertumbuh jadi lebih tegas dan dingin. Aku pernah sangat merindukannya, pernah juga mengikhlaskan dia untuk tak kembali.
Aku menoleh ke arahnya, dia tetap diam tak bergeming. Aku tidak tau harus bahagia atau menyesal melihatnya kembali di depan mataku. Aku lelah menyeret langkah untuk berpindah, aku bosan saat dia datang di mimpiku lalu menyisakan kecewa di awal terbukanya mata karena menyadari ini semua semu, dan seharusnya aku berhenti merindukan keberadaannya. Aku lelah berusaha tidak mengingatnya, aku hanya ingin bahagia karenanya lagi. Tapi aku terlalu takut untuk membiarkannya mengambil tempat paling spesial di rongga hatiku karna suatu hari dia pasti pergi lagi dan membuatku susah payah berusaha melupakannya lagi. Untuk kesekian kali.
" Kamu berubah, Re.. "
" Justru ini aku, Saka.. aku pernah berubah, dulu waktu mencintai kamu. Aku berubah menjadi bukan diriku, aku berusaha menyukai yang kamu suka, meminum yang juga kamu minum. Sampai aku sadar, ini semua nggak ada artinya.."
Malam makin larut, aku mengalihkan pandanganku pada tiga lelaki kurus ceking yang sedang ngamen di angkringan tempat kami duduk lesehan, seniman jalan ini selalu menarik perhatianku dengan sikap sopan dan kreatifitas mereka dalam menciptakan lagu. Aku merapatkan mantelku sekali lagi, melipat kedua kaki di depan dada. Hawa dingin sudah merasuk hingga ke tulang-tulangku, aku memesan segelas wedang uwuh.
" Buk, wedang uwuh satu ya"
" Dua, buk.. " Saka menyela.
" Kopimu belum habis. "
" Aku nggak minum kopi, terlalu pekat, terlalu pahit untuk dinikmati bersamamu. Aku mau yang ringan dan menghangatkan saja, kayak kamu "
Aku tergelak menyadari peminum segala jenis kopi sekaligus pecandu kafein ini tidak menghabiskan minuman favoritnya. Makin terkagetku mengartikan apa yang baru saja dikatakannya. Entah apa yang dimaksudnya.
Jangan bicara seperti itu, lelaki ! Aku tidak ingin merindukanmu lagi saat kamu hilang nanti..
Aku menunduk, menyembunyikan binar. Lagi-lagi aku mencair..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar