Fiksi.
" Kapan pulang ?"
" Kamu kapan main kesini ?"
" Aku nanya, Re.."
" Hehe maaf, aku belum tau. Belum ada rencana.."
" Minggu depan aku wisuda "
" Serius ? Kok cepet banget ? "
" Re.."
" Maaf, aku kan udah lama nggak denger progress skripsimu, tiba-tiba aja dikabarin wisuda. Btw, congrats peu.. aku bangga banget dengernya.. kamu mau hadiah apa ?"
" Just bring me, you "
Aku hampir menyesal bertanya seperti itu padanya, aku tau betul apeu tidak pernah menginginkan benda apapun. Biasanya kalau sedang kangen, dia tinggal telpon saja. dia tidak pernah memintaku untuk pulang dan menghabiskan akhir pekan dengannya. Tapi aku tidak pernah memperkirakan kalau malam ini dia menelponku dan memintaku untuk menghadiri upacara wisudanya.
Aku enggan berdebat menyakinkannya bahwa aku sedang tidak bisa pulang. Kendati migren ini sudah berhari-hari menahanku untuk mendekam di kamar dan menghemat tenaga untuk kuliah. Aku tetap harus pulang, aku yang memutuskan untuk keluar kota, dan berjanji tidak akan ada yang berubah meskipun harus LDR, aku juga membiarkannya melewati masa-masa penyusunan dan sidang skripsi tanpa sorak-sorai penyemangat dariku. Keterlaluan jika di peristiwa terpenting dalam hidupnya, aku juga tak menyempatkan diri untuk hadir. Lagipula, ia tak pernah meminta banyak..
Aku membuyarkan lamunanku, kembali mengintip keluar jendela. Diluar mulai terang tapi hujannya belum reda, ditambah banjir yang menggenangi bantalan rel. Kereta sudah berhenti selama hampir duapuluhmenit. Aku makin migren dan khawatir akan terlambat sampai di Surabaya. Sebaiknya aku mulai berdoa semoga ini tidak jadi lebih buruk lagi.
" Maaf peu, keretanya.."
" Terima kasih sudah datang Re.."
Aku mencoba menjelaskan tapi dia menyela kalimatku, lalu tersenyum menarik tanganku dari kerumunan ratusan keluarga wisudawan lainnya. Sepertinya dia tidak butuh penjelasan, dia hanya butuh kepastian bahwa pacarnya akan datang mendampingi saat gelar sarjana hukum resmi disematkan dibelakang namanya.
Kelak kau akan rindu bagian ini..
Aku hampir kehabisan akal.
Aku sudah mengikhlaskan diriku untuk yang satu ini.
Aku sudah mencari tau dan membaca banyak hal demi untuk membuatku menyukainya.
Dan kukira aku berhasil.
Atau setidaknya hingga detik ini, aku tidak mengeluhkannya.
Aku mulai membayangkan bahwa ini akan cukup menyenangkan.
Awal baik untuk sesuatu yang terlampau jauh dari rencana.
Yaa..
Tapi ini tak semudah kelihatannya..
Kau tau ? Aku terlalu mencintai medis.
Mungkin ini agak berlebihan, tapi aku nggak peduli.
Hei, siapa disini yang pernah jatuh cinta ?
Seperti apa rasanya berpisah padahal keadaan baik-baik saja ?
Aku sudah mencoba, dan aku yakin sudah ikhlas..
Tapi, andai saja mengusir kenangan bisa semudah mengikhlaskan ketidakbersamaan..
Aku terus saja diganggu kenangan.
Setiap kali membaca, mendengar atau melihat apapun tentang siswa kedokteran, aku merasa sedih..
Aku nggak punya banyak harapan lagi.
Aku nggak mampu menghindari sedihku.
Dan aku nggak tau ini akan berlangsung berapa lama..
Aku juga nggak tau..
Kenapa aku harus jatuh cinta pada medis ?
Aku nggak tau kenapa hatiku harus dijatuhkan pada yang satu ini jika pada akhirnya, bukan dengannya aku dipautkan..
Aku menyerah saja.
Urusan hati selalu rumit, sekaligus memuakkan..
Aku bersungguh-sungguh saat kubilang aku baik-baik saja.
Kau tau, aku bukan orang yang harus dikhawatirkan.
Aku selalu baik-baik saja..
Tapi kelak aku akan merindukan bagian diriku yang sok tahu banyak hal soal medis.
Kelak aku akan rindu bagian diriku yang menceritakan serunya aktivitas mahasiswi kedokteran kepada keluarga dan teman temanku, menerima respon takjub mereka terhadap pengetahuanku yang sebenarnya hanya sesederhana isi novel yang kubaca.
Yaa.. aku tidak akan jadi anak sok tahu itu lagi.
Bukan bidangku, dan kelewat jauh dari mampuku..
Yang terlewatkan.
Jadi, aku melewatkan apa ?
Hei !
Jadi, seperti apa rasanya jadi anak SMA ?
Hampir sulit dipercaya, aku sudah menggantikan seragam putih abu-abuku dengan almamater biru.
Padahal, aku masih merasa sangat kecil, dan aku terlalu menganggap anak SMA adalah mahluk (hampir) dewasa yang seringkali bandel.
Bahkan di masa kecilku aku pernah paranoid dengan anak SMA.
Ya, aku pernah berada dalam bemo yang berisi seorang pemuda gembul bermuka sangar mengenakan seragam SMA sedang menghisap rokok.
Aku ingat, sejak saat itu aku selalu bergidik ngeri setiap kali melihat anak SMA.
Tapi tiba-tiba saja aku jadi bagian dari mereka, dan trauma itu jadi hilang.
Waktu berjalan cepat sekali..
Bagaimana aku bisa menjalani SMA tanpa merasakan apapun selama tiga tahun ?!
Rasanya nggak jauh beda sama jaman SMP, masih cupu dan aneh bin ajaib..
Aku melewatkan banyak hal..
Aku menghabiskan tiga tahunku untuk duduk dengan orang yang sama, bicara dengan orang yang sama, dan bahkan aku tidak banyak bicara pada manusia, aku terbiasa menulis.
Selama tiga tahun juga, aku jadi orang yang datang paling lambat dan pulang paling cepat. Aku bahkan tidak bisa menghitung berapa kali aku terlambat ke sekolah. Yang ketahuan hanya sepuluh. Dan dua kali mendapat panggilan orang tua karna itu. Yah.. memang bukan sesuatu yang membanggakan untuk diceritakan
Tiga tahun juga, aku jadi anak yang pendiam. Okelah, bukan pendiam tapi memang aku menghabiskan hampir seluruh waktuku di SMA untuk duduk manis dibangku. Sementara bangku kiriku pergi untuk bersosialisasi dengan manusia normal lainnya, aku hanya diam menunggu dia kembali untuk mengajakku bicara.
Ntahlah, aku tidak tau kenapa bolpen dan kertas bisa membuatku lebih memilih duduk sendirian daripada ikut bergosip atau nobar drama korea.
Aku mungkin kelewat aneh..
Belakangan ini aku jadi sering heran sama film percintaan atau video clip yang menggunakan latar belakang kehidupan anak SMA.
Aku kok nggak ngerasain masa SMA semanis di tipi ya ?
Apa karna aku nggak pernah tertarik sama teman sekolahku ?
Kok bisa ya kelewatan SMA tapi belum pernah ada ngerasain macam lagu 'kisah-kasih di sekolah' ?
Ternyata waktu berjalan cepat saat aku sibuk dengan bolpen, ataupun blogspot ini.
Aku belum banyak berubah sih, tapi yaa setidaknya beberapa perubahan kecil sudah membuatku merasa cukup.
Aku tidak sekucel dulu, aku mulai peduli dengan penampilan walaupun masih saja males ribet. Easy going.
Aku nggak lagi kaku, aku mulai bisa luwes berinteraksi dengan sekelilingku, walapun masih pemalu, tapi untuk seorang ashabul kahfi, bisa memulai perbincangan dengan orang asing adalah sebuah prestasi.
Dan yang lebih lagi, anak manja ini akan belajar mandiri. Selama ini, setiap keperluanku banyak dibantu, disiapkan, diantar, dijemput, diawasi, dituntun, diarahkan, jadi wajar saja jika aku tetap lugu dan tidak tau bagaimana harus menghadapi orang. Tapi aku tidak akan selamanya tergantung pada orang tuaku. Aku harus mulai mengurus beberapa hal tanpa mengandalkan siapapun. Misalnya yang paling sederhana, memesan tiket kereta api. Haha ini cukup membingungkan awalnya.
Aha !
Aku memang melewatkan masa SMAku,
Aku tidak punya sesuatu yang bisa kukenang dari putih abu-abuku.
Tapi yaudah lah ya.. paling tidak aku sudah berkembang.
Aku udah sedikit lebih baik, hehe
Baru sedikit sih..
Tapi lumayan lah !
Fiksi mini.
" Iya "
" Jaga diri baik-baik ya. "
Dia hanya tersenyum kecil dalam keragu-raguannya untuk memastikan aku akan baik-baik saja di perantauan. Sedikit gusar setelah aku menjawab singkat pertanyaannya, suasana tak lagi menyenangkan untuk bergurau. Aku menghela napas. Ini bisa jadi kali terakhir kami saling bertatapan. Dia melayangkan pandangan ke sekitar ruangan. Mencoba mengusir kekakuan.
Beberapa bulan terakhir, aku dan dia sedang terjebak dalam banyolan panggilan 'sayang' yang tanpa tujuan. Hanya sesimpel perasaan nyaman tanpa rasa bersalah. Seolah saling memiliki tapi tidak mengikat, apalagi mengekang. Tak ada yang dijanjikan untuk sebuah kebersamaan, tapi tak pernah merasa sendirian. Dan sulit sekali untuk percaya, perpisahan bisa terasa berat untuk dua orang seperti kami.
" Nanti kita LDR dong ? "
" LDR ? "
" Iya, Long Distance Relationship, pacaran jarak jauh.."
" Nggak papa sayang.. aku akan selalu menunggumu kok "
" Hm.. awas aja ya kalau kamu selingkuh! "
" Nggak lah.. aku kan cintanya sama kamu, palingan kamu yang kecantol cowok lain "
Aku meninju lengannya, dia tak pernah berhenti menggodaku seperti itu. Menyebalkan, tapi selalu berhasil membuatku tertawa. Aku mengamati baik-baik pria yang duduk di sampingku, dia terlihat gugup dari caranya menggulung lengan kemeja hingga siku. Sebenarnya dia hampir mendekati kriteria pria idamanku, hanya saja, kami sama-sama tidak saling jatuh cinta.
Aku memiliki dia, hanya bila kami sedang ingin bercanda, selebihnya kami punya kehidupan masing-masing yang tidak untuk dicampuri. Dia pun berlaku demikian. Dalam beberapa hal, dia sepakat denganku. Termasuk soal cara bercanda dan memperlakukan 'teman'. Mungkin kami sengaja diciptakan untuk saling bercanda saja.
Setidaknya, jika dia merasa kehilangan. Aku tau, aku hanya teman yang dirindukan dia untuk dicubit pipinya.
Satu hari di bulan Juni.
Niatnya ke RSUD mau bikin surat keterangan sehat malah dirujuk ke poli penyakit dalam karena indikasi patah hati.
*lebay..
Oke deh, seriusan.
Aku mah anaknya kampungan, tapi sehat.
Jadi alhamdulillah dalam sejarah hidupku, belum sekalipun aku masuk rumah sakit.
Paling mentok ya ke puskesmas, itu pun imunisasi waktu bayi.
Tapi justru karna sehat itulah yang jadi bikin aku penasaran banget pengen masuk rumah sakit, bahkan sampai berharap sakit parah biar bisa rawat inap.
Bego banget ya ? Ah tapi itu dulu.. dulu banget waktu SD.
Nggak tau sih, apanya yang menarik dari rumah sakit sampai segitu pengennya aku ada didalamnya.
Itukan cuma bangunan gede yang didalamnya banyak orang sakit, virus infeksius banyak berterbangan mengancam siapapun yang sistem imunnya sedang tidak baik. Gitu doang..
Apanya yang asik ?
Beranjak gede, aku mulai mikir alternatif lain supaya bisa jadi bagian dari rumah sakit.
Bukan, aku nggak bercita-cita jadi pispot atau tiang infus supaya bisa tinggal di rumah sakit.
Aku mengubah cita-citaku jadi dokter.
Sejak SMP aku udah iseng baca-baca novel yang berbau medis, sampai masuk SMA aku mengubah aliranku, mengganti semua bahan bacaan jadi serba medis.
Aku selalu berusaha menambah pengetahuanku tentang sekolah kedokteran, tentang berapa lama dan berapa berat beban moral yang ditanggung dokter dibalik gelarnya.
Tapi makin kesini, aku makin fanatik, aku makin dahaga akan informasi-informasi tentang dunia kesehatan.
Sampai aku menyimpulkan, aku sudah jatuh cinta pada medis.
Tapi kenapa ? Bagaimana bisa ? Ya, cinta ga pernah punya alasan kan..
Dan pagi ini waktu aku masuk RSUD dr. M. Soewandi.
Aku merasakan sesuatu yang nyess banget di hati.
Bukan, bukan perasaan adem sejuk gitu.
Tapi perasaan kayak kena knalpot panas.
Nyess-nya kerasa sakit.
Sekilas aja ngeliat beberapa rekam medis sibuk kerja, aku nggak kebayang aja sih gimana sakitnya kalo aku cuma duduk disana ngeliat dokter menjalankan tugasnya, dan bukan aku yang mengobati, aku hanya mencatat.
Itu pasti sakitnya, kayak tau pacarmu itu ternyata saudara tirimu, trus harus tinggal serumah pula, dia ada didepan matamu, tapi nggak bisa kamu miliki.
Sungguh pengandaian yang maha lebay..
Ah sudahlah, tapi karena emang aku udah bayangkan sakitnya, aku jadi punya prinsip..
" ...kalo aku nggak bisa jadi dokter, lebih baik aku sama sekali nggak ada di dunia medis..."
Aku udah nggak peduli lagi walaupun aku dibilang keras kepala.
Trus ya, kan ceritanya aku ga ambil pendidikan rekam medis nih..
Itu tuh tetep aja bukan saudara tiri, tapi mantan. Mantan cinta pertama. Duh..
Makin lama aku didalam sana, rasanya tuh makin ga karuan.
Bahagia, iya.
Deg-degan, iya.
Mules, iya.
Sedih iya.
Ikhlas, iya.
Pengen balik ke masa sebelum jadi mantan, iya bangett..
Move on hanya omong kosong,
Munafiklah aku, kalau ngaku ikhlas tanpa sedikitpun sisa kenangan yang masih menggelitik.
Tanpa sedikit saja harap agar bisa memutar waktu untuk memperbaiki keadaan.
Tanpa sedikitnya keinginan untuk kepo.
Ah, sedikit itu selalu ada.
Dan aku tidak harus menipu diri, bahwa perasaan itu masih pada tempatnya.
Sebaik apapun aku menata hati untuk berpindah, sebuah pertemuan saja bisa mengurai kembali yang sudah tertata.
Sektalah.. ojo salah fokus.
Kayaknya udah kejauhan analoginya.
Balik pada topik utama, semua andai-andai pada catatan ini, semua perasaan emosional ini merujuk pada medis. Bukan sosok anak manusia.
Yaudahlah, cerita desperatifnya.
Eneg juga kan bacanya ?
Btw, tadi yang meriksa ganteng loh..
Bikin gemes deh..
Hehe..
Cerita Tentang Teh Hangat dan Susu Jahe
Segelas teh hangat dan susu jahe. Anggap saja dua jenis minuman itu adalah kita, yang terhidang di meja semesta malam itu. Sedari dingin m...
-
Dimotori dengan pengalaman pencarian jodoh yang cukup lama, aku akan menulis nasehat ini untuk adik-adikku yang akan menikah.Terlalu muda un...
-
Ada yang lebih sakit dari sekadar perih Ada yang lebih cacat dari sekadar parut Ada yang lebih ingin mati saja daripada menderita Kita meras...