Untuk dia, yang akan segera merasa tulisan ini ditujukan kepadanya..
Jadi, apakah bisa sebuah hati mencintai dua orang pada saat
yang bersamaan? Ataukah yang seperti itu disebut dengan mendua? Bagaimana jika
tiga orang atau empat? Oh bagaimana jika enam orang dalam satu waktu?
Saya pernah jatuh
cinta kepada lelaki, lelaki yang tentu saja juga mencintai saya. Tapi saya
tidak bisa menikah dengannya karena ibu telah menikahinya. Jadi itu mungkin landasan
dasar kenapa saya bisa jatuh cinta pada yang lain, tentu saja dengan porsi yang
berbeda. Dalam waktu yang sama, saya sangat menyayangi ayah saya kemudian dia
datang dan mencuri sebagian perasaan yang seharusnya masih milik ayah.
Sebutlah
dia Y, saya ambil inisial dari nama depannya, terdiri dari empat huruf dan
diakhiri huruf E. Ohya, ada inisial nama saya juga di huruf kedua namanya. Huruf
ketiganya N, supaya tidak susah menebak, selanjutnya kita sebut dia
sebagai Mas Melati. Mungkin ini pertama
kalinya saya memperkenalkan dia dalam sebuah deskripsi. Percayalah, saya tidak
dibayar untuk melakukan ini. Anggap saja saya sedang mengikuti sebuah challenge yang biasa digelar para
blogger.
Jadi siapa Mas Melati ini?
Dia laki laki, itu jelas.
Dia bukan ultramen, karna saya ultramennya. Dia guru bahasa
inggris. dia suka berjalan santai walau saya terburu buru. Tingginya sekitar dua
puluh senti diatas saya, sehingga masih mudah meraih tangannya untuk
menyeretnya mengikuti ritme langkah saya, tapi jadi sulit jika kami
bersebelahan, karna posisi tangan kami tergantung pada tinggi bahu yang tidak
sama. Lengannya dempal, karna suka berantem sejak balita. Ukuran sepatunya 43,
kalau tidak salah. Umurnya 23, semoga tidak salah.
Dia punya kumis yang kalau
dicukur akan membuat kepercayaan dirinya melebur bagai lelehan es tingting di siang
terik. Juga jengot yang tumbuh tidak merata. Dia suka sate ayam, tapi lebih
suka mengancam akan mencium saya. Dia juga jarang tersenyum, lebih sering
terlihat nyengir. Ohya, dia aries, keras kepala dan (katanya) setia. Golongan darahnya
O rhesus positif dan dia perokok sejak ntah kapan hingga sekarang, itu jadi salah satu
hal yang membuat saya percaya bahwa dia setia pada sesuatu yang disukainya.
Tidak semua hal tentang dia, saya suka. Dia jelas bukan
seperti ayah saya. Ayah saya tidak banyak bicara untuk membuat saya mencintainya,
ayah tidak membatasi gerak saya, tapi ayah yang menugaskan ibu untuk mengawasi gerak gerik saya dengan ‘sedikit’
aturan tambahan. Ayah tidak keras kepala, dia selalu bertanya apa yang saya
inginkan dan selalu mendukung. Ayah saya yang terbaik.
Saya tidak memilih kapan dan kepada siapa saya bisa
menjatuhkan hati saya. Karena jika saya bisa memilih, tentu saja saya tidak
akan pilih perokok. Karna walau saya bisa memakluminya, tidak jamin, orang tua
saya juga bisa. Jika saya bisa memilih, mungkin saya tidak akan memilih, tidak
sampai pusing menentukan, orang tua saya yang akan memilih untuk saya. Tapi mungkin
inilah tujuan manusia diberi hati, supaya bisa merasakan bingungnya memilih.
Ah, sekarang saya bisa mengakuinya sebagai pilihan saya, walau belum
bernyali untuk memiliki ikatan yang lebih. Jarak sudah membuat saya mengalah
untuk mengulurkan bendera perdamaian. Saat
ini, dalam cerita roman yang saya buat, saya sedang berbahagia dengannya. Beberapa
babak berisi konflik telah terlewati, babak berikutnya pasti akan ada konflik
yang lebih besar lagi. Coba saja bertaruh bagaimana ending cerita ini..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar