“ Apa kabar, May?”
Sapa seseorang tiba-tiba mengagetkanku, aku menoleh padanya. Aria. Jantungku hampir berhenti
berdenyut melihatnya ada dihadapanku. Ah, setidaknya di tempat ini, apa yang Aria lakukan di terminal? Yang benar
saja,terminal tempat umum, Aria tidak dilarang berada disini. Kenapa aku ini? Aku
sedang sibuk dengan pertanyaan pertanyaan di kepalaku hingga Aria kembali
menyadarkanku
“ Nampaknya kamu sedang sibuk memikirkan sesuatu” tebaknya
“ Ah, nggak, kenapa kamu ada disini?”
“ Karna ini tempat umum”
“ ... ” sialan,
dia benar, aku bertanya hal bodoh.
“ Kamu belum menjawab pertanyaanku yang tadi?”
“ Memangnya bertanya apa?”
“ Kabarmu “
“ Ah iya, aku baik, aku buru-buru, Aria. Maaf kita tidak
bisa ngobrol lama, aku pergi dulu”
“ Baiklah sampai jumpa”
Aku berjalan menjauh, aku tidak tau apakah dia masih disana,
aku tidak berniat memastikannya. Aku hanya perlu menemukan bus yang akan
mengantarku ke kota tujuanku. Lalu duduk di bangku nomor dua dari depan, dekat jendela.
Berusaha serileks mungkin untuk perjalanan yang akan memakan waktu 6 jam ini.
Setelah mendapatkan posisi yang nyaman untukku memandang keluar lewat jendela
disisi kiriku. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh arah seakan sedang mencari
sesuatu. Keberadaan Aria, tanpa sadar aku berharap bisa melihatnya lagi. Lima menit
berlalu, dan tak ada Aria, bus ini bergerak melaju meninggalkan terminal. Aku
merogoh tasku untuk mengambil ponselku dari dalam sana, sesaat sebelum
seseorang menghempaskan pantat seenaknya hingga tasnya mengenaiku.
“ Maaf, May”
“ Aria? Kenapa kamu ada disini?”
“ Karna ini angkutan umum”
“...” Sialan lagi, aku
harusnya diam saja.
“ Sepertinya semesta menghendaki pertemuan antara kita, May”
“ Kamu mengikutiku?”
“ Hahaha untuk apa? Kamu cepat percaya diri ya”
“ Yasudah aku diam saja” aku gondok, laki laki ini sudah
mengejekku.
“ Apa kabarmu?”
“ Kamu sudah tanya tadi”
“ Apa kabar adik adikmu? Mama papamu?”
“ Mereka baik”
“ Kamu sudah bekerja? Atau menikah?”
“ Hahaha, aku masih melanjutkan sekolahku”
“ Di Jogja?”
“ Yap, di Jogja”
“ Kamu suka Jogja?”
“ Iya”
“ Aku suka kamu”
“ Ha?” Aku mencoba memastikan apa yang kudengar
“ Dulu, aku suka kamu karna kamu pintar, sekarang pun kamu
makin pintar”
“ Ohh jadi karena itu”
“ Tidak juga, sejak pertama kali melihatmu, aku suka kamu,
karna kamu pintar aku makin suka, aku bangga punya pacar pintar”
“ Mantan “ aku meralat
“ Dulu pacar “
“ Oh iyaa” aku menyerah.
“ Sekarang kamu pacaran?”
“ Hmm? Apa aku harus cerita soal itu?
“ Kenapa tidak?”
“ Ya, aku punya pacar”
“ Laki-laki?”
“ Jelas lah” hampir kutinju dia, karna pertanyaan bodohnya.
“ Dia di Jogja?”
“ Tidak, dia ada di masa depan, kami berhubungan jarak jauh”
jawabku sekenanya
“ Hahahaha, kamu jomblo yang pandai menghibur diri”
“ Sialan, pacarku nyata, dia ada di Jakarta”
“ Padahal jauh. Bagaimana bisa dibilang nyata ?”
“ Karna dia benar benar ada dan kami ngobrol lewat chatting
setiap hari”
“ Simisimi pun bisa diajak chatting “
“ ... “
“ Kamu bahagia?”
“ Kenapa tidak?”
“ Kalian akan segera menikah?”
“ Yaa, segera setelah aku menyelesaikan sekolahku”
“ Kalau aku jadi dia, aku akan menikahimu sekarang?”
“ ... ” aku menyunggingkan senyum singkat
“ Kamu tidak tanya kenapa?”
“ Kenapa?”
“ Karna kamu angkuh “
“ Maksudku, kenapa aku harus bertanya ?”
“ Karna kamu angkuh ”
“ Ohya? Kalau begitu aku tak usah bicara dengannmu”
“ Dan sekarang kamu tersinggung”
“ ... ” Aku tidak peduli
“ Kamu pintar, Maya, kamu menyukai laki laki yang selalu
lebih segalanya diatasmu. Dan kamu tidak pernah berhenti untuk berusaha makin
pintar, itu sebabnya laki laki sebaiknya
menikahimu sebelum kamu menjadi semakin pintar”
“ Sok tahu”
“ Aku memang tahu “
“ Kamu manusia “
“ Iya, dan aku mantanmu, jadi aku tahu “
“ Kamu bangga sekali mengakuiku sebagai mantan “
“ Tidak juga”
“... ”
“ Maya, aku pernah punya teman yang menjalani hubungan jarak
jauh. Hubungan mereka berjalan lama sampai akhirnya diputuskan menikah,
seminggu sebelum menikah, calon suaminya menghilang tanpa kabar begitu saja. Kabarnya,
laki-laki itu sebenarnya sudah lama bersama perempuan lain. Temanku tidak bisa
menerima kenyataannya, Maya, dia masih berpikiran bahwa calon suaminya akan
datang dan segera menikahinya, dia menjadi tidak waras”
“ Erotomania ya?”
“ Apa itu?”
“ Waham ketika orang merasa sangat dicintai oleh orang lain,
padahal bertepuk sebelah tangan”
“ Ah kamu pintar “
“ Tidak, ceritamu mirip novel yang kubaca”
“ Berarti kamu pintar membaca”
“ Aku tidak akan bernasib demikian”
“ Aku juga tidak menyarankan agar kamu mau bernasib demikian”
“ Kenapa calon suaminya selingkuh?”
“ Karena jarak, mungkin.. Dengan godaan banyaknya wanita
didekatnya, kebutuhan akan pasangan, atau desakan hormon”
“ He?”
“ Aku tidak tau, Maya, tidak semua laki laki sama, mungkin
dia menganut paham yang lain “
“ ... “
“ Hubungan jarak jauh itu perlu keimanan“
“ Gimana?”
“ Ya kayak kamu gini, kamu gak bisa lihat pacarmu, kamu ga
bisa menyentuhnya, kamu cuma mengimani bahwa dia setia padamu”
“ Kok mengimani?”
“ Ya, iman kan artinya percaya atau yakin”
“ Hahaha, terserah sajalah..”
Aria benar. Aku tiba-tiba berpikiran tentang kekasihku yang
berada jauh, tentang apa yang dikerjakan saat aku tak bisa melihatnya. Aku
hanya berharap, aku bukan pengidap erotomania. Percakapan kami makin mengalir,
aku tidak lagi ragu bercerita saat dia bertanya. Kami telah melewatkan lima
tahun tanpa berkabar, banyak hal berubah. Aria bukan lagi teman SMA ku dulu, yang
seadanya, seasalnya, bukan lagi mantan yang dulu kuputuskan karena tidak peka,
tidak romantis dan karena aku rewel soal komunikasi via sms, padahal kami masih
sering bertemu di sekolah. Aria yang sekarang bisa saja menertawakanku,
bagaimana dulu aku bisa memutuskan hubungan kami hanya karena kerewelanku soal
komunikasi, lalu kini aku malah menjalani hubungan yang berjarak, yang nota
bene, masalahnya tidak hanya akan sesederhana komunikasi saja.
“ Yap, sebentar lagi aku sampai”
“ Semarang?”
“ Kamu punya keluarga di Semarang? Seingatku dulu kamu tidak
pernah bercerita tentang Semarang”
“ Hahaha, kamu mengingat dengan baik tentangku, Maya. Aku tidak
punya keluarga di Semarang, tapi akan punya. Aku dalam perjalanan menemui
keluarga calon istriku”
“ Ah, hubungan jarak jauh juga toh” senyumku terkembang,
sinis.
“ Salah, Maya, dia tinggal dan bekerja di Surabaya, tapi
orang tuanya di Semarang. Kami tak pernah terpisah ribuan kilometer dalam waktu
yang lama” jawabnya penuh kemenangan
Aku diam. Kemudian bus memasuki terminal, dan Aria turun. Aku
melihatnya dari jendela tempat dudukku, dia melambaikan tangannya singkat
sebelum berjalan menuju kerumunan pintu keluar terminal. Tiba-tiba saja perasaanku
menjadi gloomy, aku terpengaruh oleh
perkataan Aria. Biasanya aku mudah saja mengabaikan jarak karena kesibukanku. Sekarang
aku jadi berpikir, selama aku asyik sibuk sendiri, apakah hubunganku dengan
kekasihku benar benar sedang baik-baik saja. Aria, dia sedang menyambut
kebahagiaan ketika aku masih saja bergelut dengan dilema percintaan berjarak. Sisa
perjalananku menuju Jogja akan terasa lebih berat dengan perasaan ini. Aku tidak suka terlihat malang, Aria yang mebuatku seolah begitu. Sialan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar