Sebuah moral stori dari Bon Nori


Aku suka rumput laut, apalagi Bon Nori ini. Aku beli sasetan dengan harga seribu limaratus perak. Seringkali kujadikan teman makan, supaya apapun laukku jadi lebih nikmat. Satu saset itu, kalau untuk sekali makan, paling cuma akan terpakai setengahnya. Nah, karna aku sayang kali sama Bon Nori ini, biasanya sisanya kugadoin sampe habis. Jd ga bingung nyimpan sisanya. Bahkan kalau lg pengen nyemil, aku cukup buka satu saset buat digadoin. 

Siang tadi aku sedang di supermarket dan menemukan Bon Nori dalam kemasan pouch besar, harganya 26.900. Aku ngga beli dengan pertimbangan: Pasti akan cepat habis kalau punya sebanyak ini, lebih santai gadoinnya. 
Aku melewati rak itu dan melupakannya.

Sepulang kerja, sepanjang jalan aku membayangkan makan nasi dengan lauk telur ceplok setengah matang yang ditaburi Bon Nori. Saat tiba di rumah tanpa fafifu wasweswos, aku memilih telur yg paling besar di kulkas. Siap nasi hangat dengan telur setengah matangku, aku mengambil sebungkus Bon Nori favoritku sambil memikirkan kembali Bon Nori kemasan besar di supermarket tadi.

Kenapa aku lebih suka beli kemasan kecil daripada yang besar? Karna aku sudah menetapkan porsiku. Aku bisa saja membeli yang besar dan berpikir bahwa ini akan lebih hemat, lebih awet. Tapi aku tau, saat aku menyukai sesuatu, aku akan sedikit berlebihan. Mungkin aku akan memakannya lebih sering dari seharusnya, mungkin aku akan sering nyemil, ngga ada habisnya, ga eman eman karna toh masih banyak. Mungkin tidak akan bertahan lama seperti yang kubayangkan.

Begitupula dengan rejeki.
Kita semua punya rejeki yang besar, tapi Tuhan membaginya dalam porsi-porsi yang sesuai.

Ibarat Bon Nori sama dengan gajiku semakin besar jumlahnya bisa menumpulkan rasa eman-eman. Aku mungkin akan lebih konsumtif, Jika gajiku lebih besar, mungkin aku akan punya hasrat untuk membeli ini itu, pengeluaran yang tidak perlu, tanpa eman eman. Alih-alih bakal awet, ujung2nya malah jadi pemborosan.

Kita ngga akan bisa kenyang dengan sepiring penuh Bon Nori saja kan?
Rejeki itu sepiring penuh yang mengenyangkanku, aku hanya akan membutuhkan satu saset Bon Nori untuk setiap makan, satu centong nasi dan sebuah telur ceplok. Setiap komponennya terbagi dalam porsi yang pas untuk mengenyangkan kita setiap harinya. 

Rejeki tidak selalu berbentuk uang saja. Kesehatan, teman yang loyal, pekerjaan yang baik, waktu luang, keluarga yang utuh, ketenangan hati, komponen manapun itu yg mengisi piring kita. Kita semua dibekali rejeki yang cukup untuk menikmati hidup. Tinggal bagaimana kita mensyukuri. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerita Tentang Teh Hangat dan Susu Jahe

Segelas teh hangat dan susu jahe. Anggap saja dua jenis minuman itu adalah kita, yang terhidang di meja semesta malam itu. Sedari dingin m...