Selamat hari ibu

Baru saja kemarin, di depan ruang dokter bedah, aku berlutut mencari gram tipis yg menelusup di telapak kakinya. Setelah berhasil mencabutnya, aku kembali ke bangkuku, jeda satu bangku di sampingnya.
Aku melihatnya dari tempatku, ia satu-satunya yang paling berharga milikku. Ibuku.

Saat giliran ibuku dipanggil, aku masuk bersamanya. 
Setelah melihat hasil pemeriksaan, tanpa diduga, dokter memberi kesimpulan bahwa tidak ada penyakit, bersih. 
Kami sulit percaya karna keluhan itu ada, teraba dan terasa. Sempat menduga operatornya kurang teliti pada pemeriksaan sebelumnya. 
Ah, jika dokter sulit kupercaya, setidaknya aku percaya bahwa Allah mendengar doa kami. Hasilnya sesuai yang kami minta dalam doa. Alhamdulillah.

Mengenai Hari Ibu, aku tidak tau apa yang bisa kuberikan padanya.
Kalau kutanya, aku khawatir akan ditagih mantu. Jadi akan lebih baik jika tidak kutanya.
Aku bahkan bingung bagaimana caraku mengungkapkan sayang kepadanya.
Keluarga kami tidak punya kebiasaan mengungkapkan sayang secara verbal.
Tapi hal terakhir yang kusesali dalam hidupku adalah.. Gengsiku mengucapkan sayang kepada bapakku.

Jadi, walau kelu, tetap harus kukatakan bahwa aku sayang ibu (dan bapakku), melebihi hidupku sendiri. Walau hanya akan terlihat seperti kalimat gombal. Aku pasrah ajalah.

Orang tuaku pasti hanya melihatku sebagai anak keras kepala.
Tidak sekeras itu, hanya saja terasa aneh untuk bertingkah manis-melankolis di lingkungan keluarga bercangkang keras. 

Meskipun memang benar aku keras kepala. Hehe..
Suatu kali, aku jatuh cinta untuk pertama kalinya, seseorang terlihat baik bagiku, namun kurang baik bagi ibuku. Layaknya remaja pada umumnya, aku juga mengalami fase memberontak, melawan argumen ibu karna merasa diri sendiri benar.
Lucunya, setelah bertahun-tahun, aku bisa melihat ke belakang dan menyadari, lalu menginsyafi. 
Ternyata memang benar orang tua tau yang paling baik untuk anaknya (walau kadang meleset atau berlebihan).
Aku tidak pernah meragukan penilaian orang tuaku lagi.

Hari ibu atau hari biasa akan sama saja.
Aku menyayanginya setiap hari, aku ingin membahagiakannya setiap hari.
Tapi karena ini Hari Ibu, jadi yaaa sekali kali kubuat tulisan ini untuknya.

Terima kasih sudah mengajarkanku berjalan, hingga aku bisa berlari kencang.
Ibu tau, aku selalu khawatir pergi terlalu jauh darimu.
Tapi bagaimanapun juga, nanti aku pasti akan meninggalkan rumah.. Kan kalau rebahan di rumah doang, dimarah juga aku 😋

Selamat hari ibu, untuk ibuku tersayang.

bilur.

Beberapa hari yang lalu temanku sempat bertanya "how's ur life?"
"up and down"  kubilang.
Dia memberikan pertanyaan dan menawarkan diri untuk mendengar ceritaku, tapi kali itu aku sedang tidak ingin bercerita. Aku hanya ingin membiarkannya berlalu, aku tidak ingin memikirkannya, tidak ingin merasakannya. 

Mengurai kekusutan kepala dan mengkonversinya dalam kalimat bisa menguras emosi. Itu akan butuh banyak energi. Aku butuh energiku untuk beraktivitas, dan untuk terlihat baik-baik saja sepanjang hari.
Kupikir dengan mengabaikannya, aku akan terlupa dan terbiasa merasa biasa biasa saja. Ternyata tidak. Sesekali aku merasa kosong, aku memerlukan tontonan yg menghibur untuk mengisi diriku dengan hal-hal menyenangkan. Pada saat yang lain aku juga merasa bingung, semakin penuh, dan bertumpuk, kusut sekusut kusutnya. Jadi kuputuskan untuk mengurainya disini.

Beberapa minggu yang lalu, teman yang sama, menanyakan tentang siapa yang sedang dekat denganku? Aku excited akan menceritakan lelaki yg ini, cukup dekat, teman bicara yang menyenangkan, dia mengapresiasiku begitu banyak. Belum sempat bercerita, si lelaki sudah berbalik arah.
People come and go
Lelaki, dia mendapatkan dia yg butuhkan dari perempuan lain. Sesuatu yang tidak bisa kutawarkan padanya. 
Bukan, tapi bukan itu yang membuatku sedih. 
Aku hanya kehilangan teman bicara saat aku ingin menceritakan sesuatu, hari itu, dia hanya menjawabku dengan "hm"
Ah, lagipula siapa yang mau repot-repot mendengarku berkeluh kesah? Biar saja ceritanya hilang, aku mungkin akan lupa dalam beberapa hari dan perasaanku membaik.

Aku membuat banyak kesalahan saat aku mencoba mencari kesenangan, kukira perasaan senang bisa membantuku menimbun keresahanku. Semakin aku sibuk bersenang senang, semakin aku lupa tentang keresahanku. Tapi malah akhirnya kusesali.

Suatu kali ibuku bertanya "siapa yang sedang menjalin hubungan serius denganmu?" jawabannya belum ada. Lain kalinya lagi, ibu mengungkap keresahannya tentang kenapa aku tidak juga menemukan jodohku. Hal yang tadinya kurasa santai, akhirnya mengusikku juga.

Baru-baru ini kabar duka yang kudengar membuatku semakin kalut, ketakutan dan ingatan tentang kehilangan seseorang, membuat hatiku berlubang kembali.
Aku menyibukkan diriku, mengisi waktu luang dengan membaca, aku mencoba tidur lebih awal, sehingga tak ada cukup waktu untuk overthinking. Semuanya berjalan seperti rencana. 
Kecuali semalam, aku tidak bisa tidur, aku tidak bisa bercerita kepada siapapun dan aku tidak bisa menghibur diriku. Bahkan nangis tidak membuat mataku mengantuk.
Aku memerangi setiap pemikiran yang membuatku semakin terjaga, aku tau kali ini aku harus menyerah.
Bukan menyerah seperti putus asa, aku hanya harus berdamai dengan perasaanku, membiarkannya terasa sedih saat memang harus sedih. Tidak perlu merasa malu dan takut terlihat melankolis. Tidak perlu ada penolakan, atau upaya mengabaikan satu sesi sedih. Bahagia, sedih. Perasaan tak bisa rampung sendiri, kecuali kita melewati fase-fasenya, sehingga kita menentukan arah penyelesaiannya.

Hey, it really works.
Aku memulai tulisan ini dengan hati berat dan aku menyelesaikannya dengan perasaan yang lebih baik sekarang.

Sebuah moral stori dari Bon Nori


Aku suka rumput laut, apalagi Bon Nori ini. Aku beli sasetan dengan harga seribu limaratus perak. Seringkali kujadikan teman makan, supaya apapun laukku jadi lebih nikmat. Satu saset itu, kalau untuk sekali makan, paling cuma akan terpakai setengahnya. Nah, karna aku sayang kali sama Bon Nori ini, biasanya sisanya kugadoin sampe habis. Jd ga bingung nyimpan sisanya. Bahkan kalau lg pengen nyemil, aku cukup buka satu saset buat digadoin. 

Siang tadi aku sedang di supermarket dan menemukan Bon Nori dalam kemasan pouch besar, harganya 26.900. Aku ngga beli dengan pertimbangan: Pasti akan cepat habis kalau punya sebanyak ini, lebih santai gadoinnya. 
Aku melewati rak itu dan melupakannya.

Sepulang kerja, sepanjang jalan aku membayangkan makan nasi dengan lauk telur ceplok setengah matang yang ditaburi Bon Nori. Saat tiba di rumah tanpa fafifu wasweswos, aku memilih telur yg paling besar di kulkas. Siap nasi hangat dengan telur setengah matangku, aku mengambil sebungkus Bon Nori favoritku sambil memikirkan kembali Bon Nori kemasan besar di supermarket tadi.

Kenapa aku lebih suka beli kemasan kecil daripada yang besar? Karna aku sudah menetapkan porsiku. Aku bisa saja membeli yang besar dan berpikir bahwa ini akan lebih hemat, lebih awet. Tapi aku tau, saat aku menyukai sesuatu, aku akan sedikit berlebihan. Mungkin aku akan memakannya lebih sering dari seharusnya, mungkin aku akan sering nyemil, ngga ada habisnya, ga eman eman karna toh masih banyak. Mungkin tidak akan bertahan lama seperti yang kubayangkan.

Begitupula dengan rejeki.
Kita semua punya rejeki yang besar, tapi Tuhan membaginya dalam porsi-porsi yang sesuai.

Ibarat Bon Nori sama dengan gajiku semakin besar jumlahnya bisa menumpulkan rasa eman-eman. Aku mungkin akan lebih konsumtif, Jika gajiku lebih besar, mungkin aku akan punya hasrat untuk membeli ini itu, pengeluaran yang tidak perlu, tanpa eman eman. Alih-alih bakal awet, ujung2nya malah jadi pemborosan.

Kita ngga akan bisa kenyang dengan sepiring penuh Bon Nori saja kan?
Rejeki itu sepiring penuh yang mengenyangkanku, aku hanya akan membutuhkan satu saset Bon Nori untuk setiap makan, satu centong nasi dan sebuah telur ceplok. Setiap komponennya terbagi dalam porsi yang pas untuk mengenyangkan kita setiap harinya. 

Rejeki tidak selalu berbentuk uang saja. Kesehatan, teman yang loyal, pekerjaan yang baik, waktu luang, keluarga yang utuh, ketenangan hati, komponen manapun itu yg mengisi piring kita. Kita semua dibekali rejeki yang cukup untuk menikmati hidup. Tinggal bagaimana kita mensyukuri. 


dear mesty

Hai Mesty,
Ini aku, tantemu. Aku menulis ini saat kamu berusia dua tahun lebih dua bulan. Kamu jarang sekali melihatku karna kita ada di pulau yang berbeda. Sesekali kamu akan melihatku saat ayahmu mengajakmu vidio call denganku, dan utimu. Ohya, usiamu belum genap duatahun saat kakungmu meninggal. Sayang sekali kamu tak sempat mengenal baik pria hebat itu.
Kata orang, ingatan anak kecil dibawah 2 tahun akan hilang. Kamu pasti tidak mengingat wajah kakungmu.

Ngomong2 soal itu, sebenarnya aku iri padamu. Kamu bocah perempuan yang beruntung karna disayang dua ayah. Ayahmu, dan Ayahku. Serius, sejak kamu lahir, kamu adalah anak perempuan yang paling disayang ayahku. Beliau sangat bangga padamu.
Seandainya ayahku masih disini..

Kau tau, kelak saat kamu tumbuh besar, kamu akan merasa betapa menyebalkan ayahmu (terlihat dari bagaimana dia menjahilimu). Kamu mungkin akan menemui kenyataan bahwa tidak semua hubungan ayah-anak perempuan seindah kelihatannya di luar sana.
Kalau kamu merasa begitu, percayalah.. Aku pernah lebih dulu berdiri di posisi itu, tak ada ungkapan yang memuja dan cinta.
Tapi setiap ayah mencintai dengan cara yang berbeda, kamu mungkin tak melihatnya.
Dia menyebut namamu sepanjang jalan di sela lelahnya saat mengemudi mobil sepulang kerja
Dia memujimu saat menceritakan kepada kami, keluarga besarnya.
Dia pergi jauh dari rumah kalian, merelakan waktu2 terbaik bersamamu hanya untuk mengejar karir yang memberinya lebih banyak uang saat adikmu lahir.
Dia ingin kalian mendapatkan semua yg terbaik, hidup yang lebih layak dari yang pernah dia jalani sepanjang hidupnya.
Begitu pula aku melihat ayahku.
Semua yang terbaik diberikan untukku, walau babak belur dalam mengupayakan.

Mestyku, 
Kalau menjadi anak perempuan pertama membuatmu berat menanggung beban harapan orang tua, percayalah.. Anak perempuan nomer duapun tidak terasa mendingan. Sama saja. Berbahagialah dalam melakukan segala sesuatu. Karna saat kamu tidak mampu meraih harapan orang tuamu, setidaknya orang tuamu senang melihatmu bahagia.

Ohya, suatu hari kalau kamu iri melihat temanmu yang begitu disayang dan dijaga kakak laki2nya.. Jangan berkecil hati, ingat pesanku "tidak semua kakak laki2 akan jadi kakak yg romantis" karna ayahmu tidak begitu padaku. Jadi, yasudahlah tidak ada yang istimewa mengenai itu.

Hey mesty, 
Kalau kamu membaca ini suatu hari nanti. Berdoalah untuk kakungmu. Tanyakan namanya pada ayahmu, kirimkan alfatihah untuknya di setiap doa di akhir sholatmu. Jadilah anak yang baik budi.. Kakungmu sangat menyayangimu, sangat.

Menderita sesal

Hari ini aku dengar mbahmu pergi, aku sempat panik ingin takziah untuk menyampaikan duka citaku. 
Lalu setan dari kepalaku bersuara.. 
"dia saja tak hadir untuk takziah dihari bapakmu pergi"

Benar juga. 
Sebagai kekasih
Atau orang yg mendapatkan manfaat dariku lebih dari orang lain,  dia tak menyempatkan datang untuk menyampaikan duka cita. 
Ternyata dia tidak sebaik itu. 

Dia juga tidak mencari ibumu untuk berpamitan saat pulang dari rumahmu. 
Si lelaki payah yang kubela bela. 
Kau tau,  hari ini aku menderita sesal. 

Cerita Tentang Teh Hangat dan Susu Jahe

Segelas teh hangat dan susu jahe. Anggap saja dua jenis minuman itu adalah kita, yang terhidang di meja semesta malam itu. Sedari dingin m...