Aku tak tau apa gunanya menulis begini, yang kutau lidahku makin kelu untuk bicara dengannya. Ku bilang padanya bahwa ia dan aku sudah berubah. Aku enggan menjelaskan padanya, kuharap ia cukup pintar menganalisa.
Mungkin perubahan itu sebuah keniscayaan, dan tahun tahun bersama adalah pembelajaran.
Dan dari ia aku belajar bahwa hidup adalah tentang pengulangan. Manusia membuat masalah, minta maaf, berjanji tidak mengulangi, lalu kembali membuat masalah, minta maaf dan berjanji lagi.
Hari ke hari, minggu ke minggu lalu tahun, aku tak menghitung berapa banyak kami mengungkapkan rindu hingga rasanya tak lagi sama. Ulang mengulang, menjadikan tiga kata dalam satu kalimat yang dulu terasa bagai mantra menjadi kehilangan arti.
Kadang kalau sedang tak sadar, aku bisa mendengar darinya beberapa koreksi tentangku (kalau sadar dia bilang tak ada koreksi). Katanya aku selalu mengungkit masalah, melupakan bagian paling menyenangkan diantara kami. Dia memang manusia yang paling mudah melupakan kesalahan (kecuali kesalahanku). Ah, mana mungkin ia tau, bahkan aku tak tidur hanya untuk mengingat alasanku menyayangi, mengusir rasa asing sejak dikecewakannya (atau mungkin kecewa karena salahku berharap padanya). Aku tak mungkin lupa bagaimana ia pernah berjasa untuk membuatku tertawa senang hingga terbawa ke alam mimpi. Sedang kini, aku menyadari, berapa kalipun aku mengingatnya hatiku tak lagi terasa menghangat. Bahkan ketika aku sedang rindu, aku sering berpikir, bicara dengannya atau tidak pun sama saja.
Sudah lama sekali aku telah mengenal dia, baik dan buruknya. Lama sekali aku belajar menghadapi dan memaklumi gerak geriknya. Semestinya aku lebih siap. Sayangnya ketika sedang berseberangan, kami saling menyalahkan. Tak satupun dari kami yang mau mengalah. Kenyataannya persamaan sifat tidak dapat menyatukan dua orang manusia. Bahkan juga banyaknya waktu yang dilalui tidak menjamin apapun tentang kecocokan.
Aku masih sering merindukannya, tapi tak habis pikir apa lagi yang mau ku bicarakan dengannya. Aku telah membuat sebuah negosiasi yang akhirnya membuatku merasa bodoh. Tak akan kuceritakan disini. Aku telah mengalami banyak hal rumit, hingga akhirnya aku yakin bahwa aku memperjuangkan sesuatu yang salah. Aku membuat sebuah skenario yang salah. Mungkin sebaiknya aku berhenti meneruskannya. Semesta merestui, aku punya beberapa hal yang lebih baik kukerjakan tanpa gelombang emosi. Sementara itu, aku merasa hubungan kami sudah seperti bom waktu, yang bisa meledak kapanpun juga. Aku takut, sebaik apapun aku mecoba fokus dengan pekerjaanku, akan tetap porak poranda juga semua.
Aku takut.