Pengakuan.

D : Loh nduk, ngapain kamu disini?
A : Saya diminta mas *sebut nama* untuk kesini pak..
D : Yowis sini masuk dulu.. Jadi, gimana kabarmu?
A : Sudah jauh lebih baik dari minggu lalu
D : Kamu istirahat yang banyak ya, jangan terlalu lelah dan ambil banyak bagian disini. Ambil semua waktu yang kamu butuh untuk recovery, tidak usah dipikirkan, semua sudah di handle teman-temanmu. Saya bangga sekali karna kamu punya tekat kuat dan semangat yang kuat untuk lomba ini.


Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya mendengar pengakuan bahwa seseorang telah bangga terhadap saya. Dan untuk pertama kalinya pula, saya merasa dihargai dengan setinggi tingginya apresiasi. Hanya dengan sedikit kalimat pernyataan bangga dari seorang dosen pembimbing, saya tersanjung, Yea, I'm that shallow :'))))

Jadi apa saya benar-benar tidak pernah melakukan sesuatu yang berarti? 
Apa dari seumur hidup saya tidak pernah ada yang memuji?
Apa saya tidak pernah dihargai untuk setiap pekerjaan saya?
Tidak. Tidak. Tidak.

Saya adalah selemah-lemahnya mahluk jika mengenai eksistensi.
Hal itu baru saja saya sadari ketika seorang teman dekat dengan ringannya mengomentari keluh saya.
Dia satu-satunya orang yang bisa melihat saya layaknya badut.
Yang pengap dan hampir nangis di dalam kostum dan riasan wajah bahagia.
Dia tau, saya adalah orang paling lemah karena selalu memaksa agar terlihat hebat.
Saya suka sekali berlari. Kadang terlalu bersemangat hingga kepalang jauh sampai lupa harus pulang. Sesekali jatuh, babras, tapi tetap berlari.
Saya melupakan kenyataan bahwa saya bisa saja mati tanpa pernah menikmati hasil, jika saya terus menerus bertindak keras kepala.
Lucunya, saya ndak takut kalau hasil itu tidak sampai sempat saya rayakan
Saya memang sekeras itu untuk berprinsip bahwa setidaknya saya berusaha dan kalaupun mati, saya tidak mati dalam kesia-siaan.

Jika dikembalikan lagi pada tujuan awal untuk membuat orang tua saya tersenyum lega karena bangga. Saya akan gagal total dalam usaha, jika saya jatuh sakit karena ulah ngeyel saya sendiri.

Pernah, satu malam ketika saya masih rawat inap di rumah sakit, saya nangis semalaman karena sakit kepala ditambah resah memikirkan keinginan untuk segera kembali kuliah. Beberapa lama, sampai akhirnya saya sadar, saya sudah membuat satu kesalahan fatal. Saya membuat sedih ibu saya yang sudah beberapa hari kurang tidur karena menjaga saya. Saya sudah membuatnya khawatir dan menambah beban pikirannya. 

Sepulangnya dari rumah sakitpun, saya masih tetap saja ngeyel untuk kembali kuliah segera. Walaupun berat hati, saya tau, orang tua saya tidak akan pernah sekeras saya untuk memberikan ijin.
Saat itu juga saya sadar, saya adalah anak yang egois. Saya suka memaksakan keinginan saya dan melupakan perasaan orang tua yang selalu mengkhawatirkan saya. Tapi saya cuma bisa nangis. Saya benci memerangi diri saya sendiri. 

Saya bilang kepada mereka, "saya ngeyel demi bikin papa sama mama bangga"



Padahal yang sebenar-benarnya terjadi..

Saya pergi, karena saya butuh pengakuan. saya suka pergi jauh mengejar yang saya yakini mampu membuat saya punya eksistensi. Hanya karena saya bosan tidak dihargai. Saya bosan jadi anak yang bukan apa-apa. Jadi anak biasa saja yang hidup dibalik bayang-bayang kakak laki-laki yang kelewat dianggap cemerlang.
Saya tau, saya egois.


Well pah, mah..
Saya tau, postingan ini tidak akan sampai terbaca oleh papa dan mama. Tapi seandainya suatu hari saya memberikan link yang merujuk pada halaman ini. Saya ingin papa dan mama tau, saya sayang papa dan mama. Maaf saya selalu egois. Maaf jika saya tidak pernah merasa puas dan selalu berharap sesekali mama dan papa mau memuji pekerjaan saya. 



Sampai dengan detik ini, pengakuan bukan lagi kebutuhan saya.
Sudah cukup berlari.
Saya cuma butuh mama dan papa, saya kangen.

Cerita Tentang Teh Hangat dan Susu Jahe

Segelas teh hangat dan susu jahe. Anggap saja dua jenis minuman itu adalah kita, yang terhidang di meja semesta malam itu. Sedari dingin m...